Yogyakarta, 27 Maret 2022─Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) UGM menorehkan prestasi dalam kompetisi “Pupuk Indonesia Fertinnovation Challenge 2021” yang diselenggarakan oleh PT Pupuk Indonesia berkolaborasi dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pada 20 Agustus hingga 20 Desember 2021. Saffanatul Afifah, mahasiswa Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik angkatan 2018, meraih juara tiga dalam kategori lomba Innovation in Agricultural Value Chain.
“Sebagai anak soshum (sosial dan humaniora) yang nggak ngerti apa-apa tentang pertanian dan hanya berbekal kegelisahan terhadap isu yang ada di sekitar kita, bisa sampai menang itu pencapaian yang menurut saya hebat banget dengan keterbatasan yang ada, dan saya bersyukur diberikan kesempatan untuk terus belajar dengan segala insights (wawasan) yang saya dapat,” ucap Saffana.
Karya tulis ilmiah yang dilombakan dengan judul “Platform Digital Makanan Buruk Rupa dan Online Advocacy Campaign dengan Pemanfaatan Meme Marketing dalam Upaya Peningkatan Agricultural Value Chain serta Pengurangan Sampah Makanan di Indonesia” berangkat dari kegelisahan tentang isu lingkungan di Indonesia. Saffana menemukan fakta bahwa mayoritas produksi sampah di Indonesia merupakan sampah makanan organik yang masih layak konsumsi tetapi tidak memenuhi standar estetika.
“Di sini saya menyebutnya dengan makanan buruk rupa, dalam artian masih sangat layak dikonsumsi dari segi kandungan gizi ataupun rasa, tetapi bentuknya tidak estetik (indah). Misalnya wortel yang bagus berbentuk panjang, besar, dan lurus, tetapi jika bercabang atau belok, itu cenderung tidak disukai oleh pembeli dan mayoritas malah terbuang,” ungkap Saffana.
Lebih lanjut, permasalahan semakin kompleks ketika banyak distributor yang mementingkan best quality conduct akibat tekanan dari konsumen. Mereka dituntut memiliki quality control untuk memastikan produk-produk yang dihasilkan –sayur dan buah yang dijual berpenampilan apik. Dari sini kemudian timbul pemahaman bahwa jika tidak best quality product, maka produk tidak diminta konsumen sehingga memicu produsen untuk membuangnya.
Saffana mengungkapkan bahwa sebanyak 40 persen sampah dihasilkan dari sesuatu yang sebenarnya bisa kita makan, namun ironisnya justru banyak orang yang kelaparan. “Kita itu sebenarnya bukan kekurangan makanan, melainkan kekurangan sistem distribusi yang benar, dan ini diperparah dengan miskonsepsi bahwa makanan yang baik atau layak konsumsi itu makanan yang enak dilihat,” tutur Saffana.
Berbekal permasalahan di atas, Saffana ingin mengembangkan sebuah inovasi platform digital yang menaungi proses distribusi makanan ‘buruk rupa’ itu sendiri nantinya. Model bisnis tersebut mendapat dukungan dari pihak penyelenggara kompetisi dalam proses launching aplikasi. Namun, hal itu tentu memerlukan proses yang panjang dalam melakukan pemetaan pasokan makanan ‘buruk rupa’-nya terlebih dahulu. (/WP)