Pada hari Sabtu, yakni tanggal 27 Maret 2021, Sintesa Diskusi Berat atau yang familiar disebut Sindikat kembali digelar oleh Lembaga Pers dan Penerbitan Mahasiswa (LPPM) Sintesa Fisipol dengan mengangkat isu seputar Maskulinitas Beracun (Toxic Masculinity). Tiga pemateri yang terdiri atas Anindya Restuviani (Program Director Lintas Feminis Jakarta dan Co-Founder Hollaback Jakarta), Nur Hasyim, M.A. (Dosen Fisip UIN Walisongo Semarang dan Co-Founder Aliansi Laki-laki Baru), serta Ulya Niami Efrina J. (Akademisi Fisipol UGM). Sesi diskusi yang berjalan dengan menghabiskan waktu kurang lebih sekitar dua jam ini banyak membedah serba-serbi maskulinitas beracun dengan beberapa catatan komprehensif dari pemateri, yang diantaranya sebagai berikut:
Tiga Wujud Maskulinitas yang Perlu Dikenali
Kepada audiens, narasumber pertama Sindikat, Mbak Pipin (Ulya Niami Efrina J.) menggarisbawahi bahwasanya perdebatan dalam studi gender akan sangat berkaitan dengan bagaimana pondasi atas gender itu sendiri. Yang mana keberadaannya ini akan sangat dipengaruhi oleh determinasi biologis dan konstruksi sosial. Lebih lanjut, pengaruh dari keduanya ini dapat terjadi secara terpisah. Namun, dalam konteks yang lainnya, keduanya bisa satu sama lain saling berkelindan. Alhasil, berkembangnya maskulinitas yang ada di masyarakat akan dijumpai dalam beragam versi. Ada yang lekat sekali dengan istilah-istilah maskulinitas dengan tendensi A, namun tak bisa dipungkiri pula ada yang menyebutkan konsep maskulinitas dengan tendensi B, C, ataupun yang lainnya. Berkaitan dengan hal tersebut, Mbak Pipin juga mengklarifikasi setidaknya terdapat tiga wujud maskulinitas yang kiranya perlu dikenali.
Pertama, maskulinitas sebagai gagasan, di mana keberadaan maskulinitas ini dikonstruksi telah menjadi ideologi yang kemudian diyakini oleh masyarakat. Yang mana, dalam memaknai maskulinitas, tiap kelompok masyarakat pun akan memiliki pemaknaannya masing-masing sesuai dengan apa yang telah menjadi standarnya dalam menyebutkan maskulinitas itu sebagai apa. Kedua, maskulinitas tak jarang justru dijadikan sebagai suatu hal yang merepresentasikan karakter personal yang seharusnya dimiliki. Pada contoh konkretnya, misalnya saja konsep kejantanan yang telah dibangun sejak dini turut menyebabkan laki-laki akan lekat dengan bangunan karakter yang sifatnya seolah harus dimiliki, contohnya keharusan bagi laki-laki untuk kuat, tidak cengeng, kompetitif, tidak boleh menyukai warna pink, dan masih banyak lagi. Pada wujud yang terakhir, maskulinitas juga termanifestasikan dalam bentuk adanya aktivitas-aktivitas yang berakhir pada menguatnya stereotipe aktivitas yang harus dilakukan dan tidak semestinya dilakukan oleh laki-laki.
Serba-serbi Maskulinitas Beracun
“Tanpa disadari, tumbuhnya maskulinitas yang turut mengkonstruksi karakter-karakter gender yang melekat pada laki-laki sebenarnya bersifat tidak sehat dan justru membatasi gerak laki-laki,” ungkap Pak Hasyim. Lebih lanjut, bagi Dosen yang sekaligus menjadi CO-Founder Aliansi Laki-laki Baru ini, perlu kiranya dilakukan sebuah tranformasi dari maskulinitas beracun yang diperuntukkan dalam upaya mereduksi kuatnya rantai praktik dari maskulinitas beracun ini. Baginya, tranformasi ini dapat dimulai dengan membuka ruang perbincangan inklusif terkait maskulinitas, merefleksikan konsekuensi negatif dari maskulinitas beracun, mempromosikan konsep menjadi laki-laki manusiawi, serta menjadi sekutu Gerakan Feminisme dalam aksi tranformasi sistem sosial yang patriarki dan seksis sebagai akar dari adanya maskulintas beracun. Adapun penegasan kembali disebut oleh Hasyim bahwasanya tranformasi ini perlu untuk dimasifkan karena pada dasarnya masih banyak yang menormalkan maskulinitas yang harus dimiliki oleh laki-laki. Yang pada kenyatannya justru maskulinitas ini membawa konsekuensi negatif, yang tidak hanya menimpa laki-laki, tetapi juga perempuan.
Maskulinitas Telah Menjadi Normalisasi
Persoalan masih menguatnya konstruksi akan maskulinitas hingga memunculkan sebuah toxic baru juga berkaitan dengan bagaimana adanya ekspektasi-ekspektasi yang telah dibangun lama dan tumbuh seiring bagaimana adanya perubahan-perubahan yang ada di dalam masyarakat itu sendiri. Maskulinitas bagi Anindya atau yang akrab disapa Mbak Vivi ini merupakan cerminan atas adanya ekspektasi gender yang diberikan kepada laki-laki dalam budaya, masyarakat, dan waktu tertentu. Alhasil, ekspektasi yang dikonstruksi ini lama-lama diyakini sebagai sebuah normalisasi, yang bahkan apabila tidak diikuti oleh laki-laki akan memunculkan asumsi atau stigma masyarakat yang cenderung menganggap mereka telah menyimpang dari apa yang telah menjadi normal. Tak hanya itu, potret maskulinitas pun di era yang serba instan ini juga turut dilanggengkan dengan adanya keberadaan media yang turut memproyeksikan karakterestik dari gender tertentu, alhasil terjadinya segregasi antara laki-laki dan perempuan juga turut menjadi dampak yang hidup berdampingan dengan perkembangan masyarakat. (/Adn).