
Yogyakarta, 2 Juni 2025─Di tengah dunia yang berubah cepat akibat disrupsi teknologi, krisis sosial, dan pandemi global, cara kita memahami realitas pun ikut berubah. Kini, bukan hanya kekuasaan politik atau ekonomi yang menentukan arah masyarakat, tapi juga siapa yang berhasil membentuk dan menyebarkan makna. Itulah gagasan utama dalam artikel terbaru Megashift FISIPOL UGM berjudul “Bahasa, Kekuasaan, dan Norma di Antara Triple Disruption dan Perebutan Makna.”
Artikel ini mengangkat bagaimana bahasa telah menjadi alat penting dalam perebutan kekuasaan—bukan dalam bentuk represif, tetapi dalam bentuk yang lebih halus: mempengaruhi cara berpikir, membingkai isu, dan menentukan apa yang dianggap wajar dalam kehidupan sosial. Dalam kondisi disrupsi yang bertubi-tubi, aktor-aktor sosial—baik negara, media, korporasi, maupun masyarakat sipil—ikut terlibat dalam upaya membentuk norma dan kebenaran versi mereka masing-masing.
Fenomena ini memperlihatkan bahwa kekuasaan tidak hanya bekerja dari atas ke bawah, tapi juga bersifat kultural dan simbolik. Narasi menjadi senjata, dan bahasa menjadi ladang pertempuran yang menentukan arah kebijakan, opini publik, bahkan nilai-nilai sosial.
Lebih jauh, artikel ini juga memberi refleksi penting dalam konteks pembangunan berkelanjutan. Dalam kaitannya dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) nomor 16 yakni perdamaian, keadilan, dan kelembagaan yang Tangguh,” artikel ini mengingatkan bahwa akses terhadap narasi dan partisipasi dalam pembentukan norma sosial adalah bagian penting dari masyarakat yang adil dan inklusif. Ketika hanya segelintir pihak yang bisa mendominasi makna dan bahasa, maka ketimpangan kekuasaan pun tak terelakkan.
Dengan bahasa yang reflektif namun mudah dicerna, artikel ini tidak hanya memotret kondisi sosial kita hari ini, tetapi juga mengajak pembaca untuk lebih kritis terhadap siapa yang menentukan cara kita melihat dunia.
Artikel selengkapnya dapat dibaca melalui tautan berikut.