Muhammad Riza (selanjutnya disebut Riza), mahasiswa Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik Fisipol UGM, mahir menengarai peluang dan tak suka menyia-nyiakan kesempatan. Perjalanan yang ia tempuh ke Kudus pada bulan Mei 2019, secara tak direncanakan berhasil mengantarkannya ke PIMNAS di Bali yang berakhir akhir Agustus lalu.
Pada pelaksanaan PIMNAS ke-32 di Universitas Udayana kemarin, Riza berhasil membawa pulang juara 3 pada cabang lomba esai kategori non-PKM. Kategori kompetisi dalam PIMNAS yang diselenggarakan setiap tahun tersebut baru berlangsung selama dua tahun, terhitung sejak tahun 2018. Dalam kategori non-PKM, cabang lomba yang dikompetisikan adalah Fotografi, Videografi, Ide Bisnis, Inovasi Teknologi, dan Esai. Riza berhasil menggaet juara 3 dengan sebuah esai berjudul panjang: “Gusjigang: Revitalisasi Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Lokal Menyongsong Persaingan Global”.
Gusjigang, adalah singkatan dari “Bagus, Ngaji, Dagang.” Penggunaan istilah tersebut terinspirasi dari kunjungan Riza ke Kudus seorang diri. Ia berziarah ke Makam Sunan Kudus, melihat operasi usaha Museum Jenang Kudus, dan menengarai Kudus sebagai kota tradisional dengan tradisi Islam yang kental. “Dari situ, saya ingin menjadikan Kudus sebagai contoh kota yang progresif di bidang pereknomian tanpa meninggalkan nilai-nilai Islam,” tutur Riza. Penjelasannya tentu sejalan dengan tema esai yang ia angkat, di mana ia juga membahas kegiatan perekonomian yang berbasis pada semangat Keislaman. Agak personal, memang, tapi, apa salahnya?
Dalam pertemuan dengannya Rabu lalu, sambil menggunakan busana muslim seperti biasanya, Riza menceritakan pengalamannya kepada kami. Menurut Riza, ia memilih bahasan itu dalam esainya karena di era persaingan global, generasi muda dituntut menjadi wirausaha. Mereka harus terampil, kreatif, dan pada saat yang sama mandiri secara ekonomi.
Setelah berhasil menulis esai yang terdiri dari 7 halaman, Riza bersaing dengan 20 finalis terbaik dari seluruh Indonesia. Keinginan utamanya adalah mendorong generasi muda untuk bisa membuka lowongan pekerjaan dengan berlandaskan nilai-nilai Islam. Kudus, menurut Riza, menjadi contoh ideal untuk mewujudkan hal itu.
Seperti yang kita tahu, Kudus memang kota yang lekat dengan pelaksanaan ritus Islam secara tradisional. Kota yang terhitung kecil, otentik, dengan geliat kegiatan ekonomi yang bersumber dari ramainya makam para wali, banyak tempat wisata spiritual, maupun produk-produk lokal kota itu sendiri—seperti yang disebutkan Riza, jenang misalnya.
Selain membawa pesan dan idealisme yang cukup personal, berdasarkan cerita darinya, kami menangkap Riza memang punya kepekaan spesifik untuk mengangkat pengalaman pribadinya dalam bentuk tulisan. Orang-orang berekreasi dan berkunjung ke tempat-tempat wisata untuk menghibur diri. Sementara Riza, tak mau terlalu picik dan menyia-nyiakan kesempatannya untuk berkarya. Hasilnya, ia terbang ke Bali dan sukses membanggakan nama kampus.
Meskipun begitu, untuk mewujudkan hal yang ia tulis dalam esai, Riza menyadari tantangan yang bakal ia hadapi ke depan. Sesuai dengan komentar para juri, yang harus dilakukan Riza adalah membungkus idenya dengan nilai-nilai modern dan kekinian supaya dapat diterima oleh generasi muda secara umum.
Akan tetapi, segala pencapaian patut dirayakan. Dan setelah berhasil mendapat kejuaraan, menjadi hal yang pantas belaka bagi Riza untuk mengapresiasi dirinya sendiri. Paling tidak, ia perlu menyadari bahwa dari jalan-jalannya yang singkat dan tak muluk-muluk ke Kudus, nasib telah membawanya terbang, ke tempat yang jauh, bersaing dengan banyak orang yang belum tentu memiliki nasib baik dan kepekaan personal yang sama dengannya. (/Snr)