Sastra sedang dalam masa-masa terburuk, atau justru kalau boleh menyebut, mencapai titik nadir. Mario Vargas Llosa, begawan kesusastraan Peru, menyatakan dalam buku kumpulan esainya yang berjudul “Matinya Seorang Penulis Besar”, bahwa kesusastraan di peradaban modern telah kehilangan peran magis. Padahal, pada puluhan dekade lalu, ia telah menempati posisi yang mirip dengan agama; sastrawan dan filsuf dari berbagai belahan bumi tumbuh seperti benih di tanah subur, dan kita mengenal mereka sebagai tonggak peradaban: Sartre, istrinya Simone, Zola, Borges, Chekov, Tolstoy, dan masih banyak lagi. Sementara pada masa sekarang, untuk menemukan penulis sekaliber mereka, kita harus tidur cukup lama sekaligus beruntung untuk memperoleh mimpi yang baik.
Puluhan dekade lalu, dunia telah dan sedang dihuni oleh sekumpulan manusia yang tergila-gila dengan perenungan hidup, dan pada masa ini, yang terjadi ialah sebaliknya. Orang-orang menjadikan segala hal sebagai hiburan dan tempat pelarian yang membebaskan mereka dari kekhawatiran, kecemasan, dan ketidakpastian. Llosa, mewakili keprihatinannya, menyebut apa yang terjadi saat ini sebagai “Peradaban Tontonan”.
Dalam “Peradaban Tontonan”, kata Llosa, para pelawak berselera humor rendah akan menjadi raja, dan arah vektor kebudayaan ditentukan oleh pengiklan atau tukang jualan. Dalam peradabaan ini, sastra, filsafat, dan seni secara umum hampir tak mempunyai tempat, dan para intelektual kehilangan peran sosialnya di masyarakat. Ini seperti sebuah bar bermusik yang penuh gemerlap lampu dan dikelilingi orang-orang kalap, namun begitu gelap dan menyedihkan.
Suasana semacam itu, hadir di lantai 1 Fisipoint UGM, Rabu malam lalu. Namun, yang terjadi di sana ialah le meilleur des mondes possible atau “yang terbaik dari semua yang mungkin”: di tempat gelap itu, sekumpulan orang duduk berkerumun, merenung, dan berbincang satu sama lain, sementara di depan mereka terdapat panggung kecil tempat setiap orang bisa bernyanyi dan membaca puisi. Adalah Teater Selasar yang mengadakan acara itu. Mereka, dengan begitu saja dan simpel, memberinya judul: Malam Sastra, Aku dan Kau. Adapun Malam Sastra ialah acara yang rutin diadakan Teater Selasar setiap semester. Mahasiswa-mahasiswa lintas fakultas kerap datang ke acara tersebut dan menyumbang beberapa lagu atau puisi secara cuma-cuma.
Sejak pukul 18.00, panggung telah dibuka bagi setiap yang datang dan ingin tampil. Secara bergantian, para hadirin-penampil-hadirin ialah orang yang sama, dan hampir semua orang pada malam itu menjadi penonton sekaligus penampil. Gaudensius Davin, Ketua Teater Selasar, sempat naik ke panggung membawakan nomor “Jangan Seperti Bapak” milik Iksan Skuter dan mengajukan pertanyaan kepada penonton sambil berteriak:
“Di sini, siapa dari kalian yang tak direstui orang tua untuk berbakti pada sastra dan kesenian?!” Orang-orang lalu mengacungkan tangan dan meneruskan referen lagu itu bersama-sama: “Melambung ke angkasa, turuti apa kata hatimu!”
Pertanyaan dan lagu yang dibawakan Davin malam itu lahir dari keputusasaan. Para orang tua, atau generasi sebelum mereka, mengalami krisis kepercayaan dan skeptis pada kesenian. Kecenderungan cara pikir semacam itu memang harus kita akui melekat pada masyarakat kita secara umum. Adakah orang tua atau tetangga bersemangat dan menganggap bahwa seorang anak kecil yang mulai menyukai piano, pandai menulis, dan keranjingan menggambar, adalah benih-benih terbaik peradaban yang harus dijaga dan bakal memberi kejutan besar beberapa puluh tahun ke depan? Dengan mudah, kita bisa menjawabnya sekali napas: tidak sama sekali.
Dalam masyarakat kita, seniman dan sastrawan adalah sekumpulan idealis yang hidupnya patut dikasihani. Untuk tetap berkarya, mereka harus bersusah-payah dan bergumul dengan kondisi yang serba terbatas. Para orang tua dan masyarakat tak bakal sanggup menanggung kecemasan untuk membiarkan anak cucunya bermimpi menuju ke sana. Sementara pada kondisi yang terparah, hanya seniman dengan selera humor rendah dan tukang jualan-lah yang akan bisa hidup dengan mapan dan mengajak anak istri mereka pergi berlibur ke Eropa.
Hanya saja, hal semacam itu tak membuat orang-orang yang tergabung di Teater Selasar, sekaligus yang datang pada malam itu, merutuk dan cuek terhadap hidup. Di sebuah bangunan yang siangnya digunakan para mahasiswa beriuh-rendah dan makan, mereka merayakan sastra dan seni sampai larut malam. Panggung kecil yang hanya terdiri dari dua level kayu dan satu gitar akustik itu menjadi tempat dibawakannya puluhan judul lagu dan puisi. Semua orang di tempat itu berbahagia, dan dengan sedikit bersemangat, berpikir bahwa segala kemungkinan harus selalu dirayakan. Dan dalam hal ini, Llosa sepatutnya tak terlalu bersedih dan putus asa. Di umurnya yang sudah 83 tahun, sebelum mati, ia harus terus menulis. (/Snr)