Yogyakarta, 12 Mei 2014 kemarin Dewan Mahasiswa KM Fisipol mengadakan agenda tatap muka antara mahasiswa Fisipol bersama Dekanat Fisipol. Tatap muka dengan Dekanat ini dilakukan sebagai agenda bentuk kepedulian Dema KM Fisipol atas aspirasi mahasiswa. Dengan kata lain acara merupakan fasilitas penghubung dekanat dengan mahasiswa. Acara yang berlangsung selama 2 jam mulai dari Pk 14.00 WIB hingga Pk 16.00 WIB ini mendapat respon positif dari mahasiswa mengingat acara ini nantinya memperoleh masukan oleh pihak dekanat. Adapun tujuan diselenggarakan acara yang bertajuk Public Hearing sekaligus tatap muka bersama Dekanat ini tidak lain agar aspirasi mahasiswa selanjutnya dijadikan input kebijakan agar nantinya public policy yang dikeluarkan Dekanat Fisipol tidak salah sasaran. Terdapat tujuh poin penting yang dihasilkan dari acara yang diselenggarakan di Selasar Barat Fisipol. Pertama, banyak mahasiswa yang mengatakan wi-fi di Fisipol “kopong”. Dikatakan demikian karena ketika kita ingin mengonekkan wi-fi Fisipol maka yang sering keluar adalah slot wi-fi ugm. Tentu saja route yang kita tujupun berbeda ketika kita mengklik wi-fi UGM. Adapun pernyataan dari Dekanat menyatakan bahwa dari pihak UGM, nama disamakan antara hotspot fakultas dan universitas. Sedangkan untuk kecepatan akses data sudah dikontrol dari pusat (UGM). Untuk mengaksesnya, kita memakai ugmhotspot. Kedua, terkait user CCTV dan siapa yang bertanggung jawab untuk mengawasinya. CCTV sudah dipasang 18 kamera. Yang bertanggung jawab adalah satpam. Satpam juga akan diberi tahu cara bagaimana memutar ulang CCTV. Ketiga, pengelolaan mading dan apakah terdapat tata kelola mading di Fisipol. Dari pihak dekanat menyataka bahwa pada era transformasi digital saat ini penggunaan jejaring sosial dianggap lebih tepat sasaran dan efektif daripada mading. Hal inilah yang membuat pihak dekanat tidak terlalu mengelola mading. Keempat terkait dengan pengadaan lapangan serba guna untuk civitas akademik di Fisipol. Hal ini digunakan untuk meningkatkan prestasi warga Fisipol dibidang olahraga sekaligus sebagai fasilitasi ruang publik. Jawaban dari dekanat sendiri menyatakan bahwa hal ini sulit mengingat konsep ini memerlukan space yang luas. Sedangkan konsep UGM adalah resources sharing dimana diharapkan berbagai fakultas bersinergi. Kelima, terkait pemotongan KRS dan mekanisme yang diterapkan. Dekanat menyatakan bahwa mekanisme regulasi ini diserahkan kepada jurusan masing- masing. Keenam, pengadaan tempat sampah diberbagai sudut yang didukung oleh pihak dekanat. Ketujuh, terkait masalah sinyal handphone yang relative kurang bagus. Saat ini dekanat masih menyelidiki apakah keadaan ini dirasakan oleh semua fakultas atau tidak. Jika memang diperlukan maka Fisipol akan bekerjasama dengan provider tertentu untuk membangun sarana komunikasi agar mahasiswa maupun karyawan Fisipol bisa merasakan kenyamanan dalam hal akses data maupun komunikasi. (Via/OPRC).
fisipolugm
Selama 6 hari, tiga mahasiswa Fisipol yakni Tasha Nastiti Waris (Jurusan Politik dan Pemerintahan), Bastian Widyatama (Jurusan Politik dan Pemerintahan), dan Anditya Nurina (Ilmu Komunikasi) bertandang ke negeri Gajah Putih, Thailand dalam acara pertukaran budaya. Ketga mahasiswa ini merupakan delegasi UGM bersama dengan 18 mahasiswa lainnya dalam kegiatan Indonesia-Thailand Friendship and Cultural Exchange Program (ITFCP 2014). Acara yang berlangsung dari tanggal 9 hingga 15 Mei 2014. Acara ini pada dasarnya bertujuan untuk menyambut Asean Community yang akan diselenggarakan pada tahun 2015. Oleh karena itu, program tersebut menjadi wahana penting untuk saling bertukar pengalaman, pengetahuan, dan kebudayaan sebagai satu kesatuan wilayah yang disebut sebagai Asean. Kegiatan ini diinisiasi oleh Universitas Chulalongkorn, Thailand , dan beberapa universitas di Indonesia seperti Universitas Gadjah Mada, Universitas Indonesia, Universitas Diponegoro, Universitas Padjajaran, dan lain sebagainya. Maka tidak heran jika yang ikut berperan aktif dalam kegiatan tersebut bukan hanya dari UGM saja. Terdapat tiga poin penting dalam misi kebudayaan ini. Pertama, para delegasi Indonesia mendiskusikan Asean Community 2015 bersama dengan salah satu perwakilan dari Kedutaan Besar Republik Indonesia di Bangkok. Dari diskusi tersebut, para delegasi dan pihak kedutaan dapat mengambil beberapa pelajaran berharga terkait dengan kesiapan Indonesia dan Thailand dalam menyambut Asean Community 2015. Thailand dinilai sebagai salah satu negara yang paling siap dalam menghadapi Asean Community 2015 karena pemerintah setempat telah menerapkan kurikulum tentang Asean di berbagai level pendidikan, mulai dari sekolah dasar (SD) sampai tingkat universitas. Selain itu, konektivitas antar daerah di Thailand menjadi kunci penting untuk mendongkrak pemerataan ekonomi. Menariknya, perekonomian di Thailand justru ditunjang oleh sektor usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Kedua, diskusi terkait dengan Asean Community dan perbandingan sistem pemerintahan juga dilakukan di Universitas Chulalongkorn, Bangkok. Diskusi tersebut juga pada dasarnya membahas persiapan Thailand dalam menghadapi Asean Community 2015. Selain itu, beberapa mahasiswa universitas tersebut juga mempresentasikan kondisi sosial dan politik di Thailand yang saat ini tengah terjadi, disambung dengan diskusi yang memaparkan tentang kondisi sosial politik di Indonesia. Ketiga, pementasan seni yang ditampilkan oleh seluruh peserta atau delegasi dari Indonesia. Penampilan tersebut setidaknya berjumlah 15 penampilan. Beberapa kebudayaan yang ditampilkan di Bangkok yaitu pertunjukan wayang suket, tari saman, tari tor-tor, tari kontemporer, tari baris, tari sigeh pangunten, tari nendak bulian, tari sajojo, dan lain sebagainya. Adapun perwakilan dari Fisipol UGM menampilkan kebudayaan wayang suket (Bastian dan Tasha Nastiti) dan tari saman (Anditya Nurina). Selain penampilan dari delegasi Indonesia, pertukaran kebudayaan tersebut juga diramaikan oleh pertunjukan seni dari Thailand oleh beberapa mahasiswa Thailand. Dengan adanya program tersebut, maka diharapkan konektivitas antara mahasiswa Indonesia dan Thailand dapat terjaga dalam rangka menyongsong Asean Community pada tahun 2015. (Via/OPRC)
Pada tanggal 7 Mei 2014 kemarin Gamapi bekerjasama dengan unit transfusi darah Rumah Sakit Umum Daerah dr. Sardjito. Acara yang diselenggarakan di Selasar Tengah yakni depan Front Office Fisipol ini dilakukan dalam rangka agenda tahunan. Tidak hanya mahasiswa dari Jurusan Manajemen dan Kebijakan Publik saja melainkan seluruh civitas akademik Fisipol termasuk kelima jurusan lainnya yakni Jurusan Komunikasi, Jurusan Politik dan Pemerintahan, Sosiologi, Hubungan Internasional dan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan. Acara yang bertajuk Blood Donation ini digelar selama 3 jam mulai dari Pk 08.00 WIB hingga Pk 13.00 WIB dengan jargon You Can Save Lives! Memperoleh tanggapan positif termasuk pegawai Fisipol. Donor darah menjadi salah satu program kemanusiaan Gamapi karena HMJ dari Managemen Kebijakan Publik merasa dengan hadirnya agenda donor darah maka kita akan membantu meringankan derita orang lain yang membutuhkan. Acara ini bukan hanya milih Gamapi tetapi juga seluruh civitas Fisipol untuk membantu sesama dengan program donasi darah. Dengan kata lain inilah wujud konkret yang dilakukan demi kegiatan kemasyarakatan. Tradisi donor darah menjadi agenda tahunan Gamapi dan kegiatan ini telah berlajalan seperti tahun tahun sebelumnya. Dari tahun- tahun kemarinpun Gamapi tidak hanya bekerjasama dengan RSUD dr. Srdjito saja melainkan juga unit transfusi darah dari instansi lainnya seperti PMI daerah. Respon positif tidak hanya diberikan oleh peserta donor darah. Akan tetapi panitiapun antusias untuk berkontribusi atas acara mereka. “Acara donor darah seperti ini perlu digalakkan lebih sering karena banyak yang ingin berpartisipasi”, kata Aca Bagus, salah seorang panitia Donor Darah sekaligus anggota Gamapi. Kegiatan kemanusiaan seperti ini memang perlu dilakukan secara berkala mengingat diluar sana banyak yang menjualnyawa demi memperoleh setetes darah (OPRC.)
Yogyakarta, 26 Mei 2014- Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Uniersitas Gadjah Mada (Fisipol UGM) dan Gadjah Mada University Press menggelar bedah buku yang bertajuk “Perlindungan Sosial dan Klientelisme: Makna Politik Bantuan Tunai dalam Pemilihan Umum” yang ditulis oleh Mulyadi Smarto, Ph.D. Buku yang ditulis oleh salah seorang dosen di Jurusan Pembangunan dan Kesejahteraan, UGM ini juga melibatkan tiga orang pembahas yang akan mereviu dan mengkritisi berdasarkan kapasitas dan pengalaman masing- masing pembahas. Adapaun tiga orang pembahas tersebut antara lain pertama, Prof. Edward Aspinall, Ph.D yakni guru besar Australian National University, Australia yang akan menyampaikan pembahasan dari perspektif teoritis klientelisme dan pemberian suara. Kedua, Kuskrido Ambardi, Ph.D yakni Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia sekaligus akademisi di Jurusan Ilmu Komunikasi, UGM yang akan mengkritisi dari kajian LSI atas popularitas calon presiden dan peranan program- program populis (termasuk program bantuan langsung tunai) dalam meningkatkan popularitas dan perolehan suara dalam pemilu. Dan ketiga, Ganjar Pranowo, S.H yakni Gubernur Jawa Tengah yang akan menyampaikan pembahasannya berdasarkan pengalaman PDIP dalam merespon pelaksanaan program BLT menjelang Pemilu 2009 dan isu obilisasi pemilih menggunakan program tersebut. Dalam buku ini, penulis memaparkan adanya transformasi rezim ksejahteraan (welfare regime) dan dalam waktu yang bersamaan digunakan sebagai respon atas proses demokratisasi di Indonesia. Transformasi welfare regime ditandai dengan peningkatan peran negara dalam distribusi perlindungan sosial untuk masyarakat miskin (Soemarto, 2011). Perlindungan sosial sebelum tahun 1998 diberikan hanya kepada pegawai negeri dan militer saja saat ini telah diberikan pula kepada seluruh segmen masyarakat tanpa terkecuali. Titik transformasi ini terjadi pada saat runtuhnya system pemerintahan terpusat- otoritarian, Orde Baru. Pasalnya pada saat itu pemerintah memulai distribusi perlindungan sosial dalam bentuk jaring pengaman sosial (JPS) kepada rumah tangga miskin. Salah satu program JPS yang dikelola pemerintah dibawah paying program penanggulangan kemiskinan yakni distribusi bantuan langsung tunai atau BLT dengan mekanisme pemberian uang tunai sebesar Rp 100.000,00 kepada setiap rumah tangga miskin yang diberikan perbulan. Uniknya, kebijakan ini dilakukan menjelang pemilu 2009. Tentu saja ini juga merupakan pembuktian dilain sisi bahwa calon presiden incumbent mengklaim program BLT bahwa program tersebut merupakan hasil kebaikannya dalam mobilisasi pemilih guna memenangkan pemilu. Hingga pada akhirnya mantan wakil presiden, Jusuf Kallapun menilai bahwa BLT merupakan alat untuk menegaskan legitimasi public atas pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono untuk memenangkan Pemilu 2009. Acara yang dipandu oleh Amalinda Savirani, S.IP, M.A yang juga dosen dari Jurusan Ilmu Politik dan Pemerintahan ini memiliki empat tujuan yang meliputi, pertama, membahas aspek konseptual mengenai klientelisme, pemberian suara, dan perlindungan sosial. Kedua, menjelaskan praktik klientelisme dan pembelian suara menggunakan program prelindungan sosial di Indonesia. Ketiga, menguraikan pembelajaran yang bisa diperoleh dari praktik kasus klientelisme dan pembelian suara menggunakan program perlindungan sosial di negara- negara Amerika Latin untuk memahami masalah serupa di Indonesia. Dan kelima, membahas implikasi praktik pembelian suara menggunakan program perlindungan sosial dan bagaimana masa depan perlindungan sosial di Indonesia.