Sabtu lalu (26/08/19), di Taman Budaya Yogyakarta, Berty Larasati (selanjunya disebut Berty) dan kedua temannya, Abyzan Syahadin, dan Nadia Intan meraih juara pertama Kompetisi Reaksi yang diselenggarakan oleh Universitas Pembangunan Negeri Veteran Yogyakarta. Ketiganya adalah mahasiswa Departemen Ilmu Komunikasi UGM.
Kompetisi Reaksi diadakan sebagai ajang bagi mahasiswa Ilmu Komunikasi dari universitas-universitas di Yogyakarta untuk bersaing di bidang periklanan, media hiburan, public relation, dan jurnalistik. Bidang yang disebut paling akhir diikuti Berty dan tim dalam perhelatan Reaksi kemarin. Cabang lomba jurnalistik tersebut bernama Potret Warta. Kami sempat menemui Berty Jumat lalu. Kepada kami, ia membagikan pengalamannya dan tim dalam mengikuti Potret Warta.
Teknis perlombaan Potret Warta menuntut para peserta untuk membuat feature yang dilengkapi dengan tiga foto tentang fenomena yang diliput. Pada kompetisi kemarin, Berty dan tim mengangkat bahasan soal persewaan egrang di pojok Alun-alun Selatan Kota Yogyakarta. Fenomena tersebut sejalan dengan tema yang diangkat dalam Kompetisi Reaksi kemarin, yaitu revitalisasi budaya.
Ide untuk mengangkat fenomena tersebut di dalam feature dilatarbelakangi oleh kegelisahan Berty dan teman-temannya soal keberadaan egrang yang telah lama ditinggalkan. Di tengah kehidupan modern yang serba berkaitan dengan teknologi ini, permainan tradisional seperti egrang sering dianggap kolot dan ketinggalan jaman. Feature adalah bentuk usaha Berty dan tim untuk merekam usaha melestarikan permainan tradisional itu.
Sebelum pada akhirnya memutuskan mengikuti Potret Warta, Berty bercerita bahwa ia sempat berencana mengikuti cabang lomba lain dalam Kompetisi Reaksi di bidang public relation, yaitu Prakasita. Saat itu, Berty belum mendapatkan dua teman lain untuk bergabung dalam timnya. Di titik inilah Berty sempat mengalami kebingungan.
Namun, kebingungan itu tak berlangsung lama, dan rencana yang sebelumnya dibuat Berty memang berjalan tak sesuai keinginannya. Sesaat setelah roadshow dari pihak panitia Reaksi di UGM usai, Abyzan dan Nadia langsung menghampiri Berty dan mengajaknya mengikuti Potret Warta. Mulai dari situ, tim dibentuk, dan pembagian kerja pun juga mulai dibuat.
Dalam pembuatan feature kemarin, Berty mendapat tugas menangani segala keperluan yang berkaitan dengan pihak eksternal, seperti narasumber, perizinan, dan lain sebagainya. Abyzan, sebagai mahasiswa yang keranjingan memotret, kebagian tugas untuk membuat dokumentasi dalam bentuk foto, sementara Nadia yang kejatah menulis.
“Persiapan yang kami lakukan untuk mengikuti lomba ini adalah satu bulan. Waktu itu kami perlukan untuk melakukan pengamatan sebanyak empat kali, mewawancarai narasumber, dan mengambil foto,” jelas Berty.
Pemilik persewaan egrang yang menjadi objek pengamatan Berty dan tim bernama Pak Yudi. Selain menyewakan egrang, beliau juga menjadi Ketua Paguyuban Noto Roso, sebuah kelompok kolektif masyarakat yang dibentuk secara khusus untuk melestarikan egrang.
Di Alun-alun Kidul, Pak Yudi menyediakan beberapa pasang egrang untuk pengunjung. Sebagai penghargaan atas hal itu, pengunjung dipersilakan membayar seikhlasnya. “Itu menunjukkan usaha nyata Pak Yudi untuk tetap melestarikan egrang. Hal tersebut dilakukan bukan untuk mencari keuntungan finansial,” tambah Berty.
Usaha seperti yang dilakukan Pak Yudi untuk melestarikan budaya memang menuntut kesetiaan, dan dalam beberapa titik, kesunyian. Pak Yudi harus rela menempatkan diri di pojok alun-alun di mana pandangan pengunjung belum mesti tertuju ke sana. Sementara lewat feature yang dibuat Berty dan tim, setidaknya kita tahu bahwa niat baik bakal terus ada, meskipun hanya akan kita temui di tempat-tempat yang terpojok dan tak menarik perhatian banyak orang.
Salut untuk Berty dan tim, juga untuk Pak Yudi! (/Snr)