Bisakah Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons Memberikan Kepercayaan Keamanan Pada Dunia?

Yogyakarta, 8 Februari 2019—“Nuklir memiliki banyak fungsi untuk dunia. Akan tetapi, terdapat persoalan persepsi dalam penggunaannya sebagai senjata,” kata, Kusnanto Anggoro, Dosen Fisip UI dan Universitas Pertahanan.

Kementrian Luar Negeri Republik Indonesia bekerja sama dengan Fisipol UGM mengadakan Seminar tentang Traktat Pelarangan Senjata Nuklir (Treaty on The Prohibition of Nuclear Weapons). Menghadirkan lima narasumber yang berkompeten pada Jumat (08/02) di Gedung Auditorium Fisipol UGM.

Semakin berkembangnya teknologi dan ilmu sains, mendorong semakin berkembangnya tenaga nuklir, salah satunya sebagai senjata. Munculnya traktat pelarangan senjata nuklir menjadi sebuah tanda bahwa nuklir menjadi salah satu ancaman bagi dunia.

Traktat yang diluncurkan sejak September 2017, merupakan kerangka hukum internasional yang secara komprehensif mengatur mengenai pelarangan kepemilikan, pengembangan, produksi, transfer, dan akuisisi terkait senjata nuklir. Saat ini tengah disetujui oleh 122 negara, 1 negara menolak dan 1 negara abstain. Dari keseluruhan negara yang menyetujui traktat ini, mayoritas adalah negara non kepemilikan senjata nuklir.

Indonesia termasuk ke dalam negara anggota yang menandatangani traktat tersebut. Hal ini berkaitan dengan kepentingan nasional.

“Penandatanganan traktat tersebut oleh Indonesia bermaksud untuk memenuhi kepentingan nasional. Seperti yang tercantum dalam UUD 1945, bahwa Indonesia ikut melaksanakan ketertiban dunia“ kata, Laurentius Amrih Jinangkung, Direktur Hukum dan Perjanjian Ekonomi KEMENLU RI.

Setuju dan tidaknya negara dalam traktat ini tentu dipengaruhi pula oleh kepentingan ekonomi, sosial dan politik. Dalam ranah ekonomi,  kepemilikan senjata nuklir dapat menghemat 28% anggaran pertahanan negara. Selain itu, penentuan kebijakan tidak selalu berdasarkan logika (rational choice), tetapi juga perasaan (perseption).

Kepentingan tersebut mendorong tercapainya traktat ini, namun operasionalnya tetap sulit karena negara pemilik senjata nuklir tetap dapat mengoperasikannya. Di samping dapat mengancam ketertiban dunia, nuklir tidak dapat dipungkiri memiliki banyak fungsi yang apabila dimanfaatkan dengan bijaksana akan mendorong kemajuan kehidupan manusia.

Dalam seminar ini dikatakan bahwa tenaga nuklir tidak harus dimusnahkan, namun dialih fungsikan dari senjata menjadi sumber energi yang lain, seperti Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir. Tenaga Nuklir telah berkontribusi dalam berbagai bidang, seperti; energi, kesehatan, lingkungan, industri, SDA, peternakan dan pertanian.

Dalam pengembangannya, Indonesia masih harus menghadapi tantangan seperti minimnya Sumber Daya Manusia yang berkompeten.

“Berdamai dengan nuklir untuk kemajuan ekonomi nasional dengan mengembangkan teknologi nuklir untuk bidang lainnya merupakan salah satu cara untuk menghentikan produksi senjata nuklir,” kata Falconi Margono, Plt. Kepala BATAN.

Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menginformasikan pentingnya penghapusan senjata nuklir adalah mengkampanyekannya. Muhadi Sugiono, Dosen Ilmu Hubungan Internasional Fisipol UGM mengangkat isu kemanusiaan untuk meyakinkan bahwa senjata nuklir tidak perlu digunakan lagi.

Sebanyak 122 negara yang menyutujui traktat ini merupakan sebuah prestasi, hal ini menunjukkan bahwa mereka ingin menentukan masa depan kemanusiaan dunia.

Argumen kemanusiaan mengubah wacana tentang senjata nuklir, diharapkan dapat memperkuat posisi traktat tersebut dan posisi negara tanpa kepemilikian senjata nuklir.

“Argumen kemanusiaan yang diangkat adalah meyakinkan bawah senjata nuklir adalah ancaman. Keberhasilan ratifikasi traktat ini membuat agenda setting dunia ditangan negara non kepemilikan senjata nuklir, karena mayoritas negara yang menandatangani adalah mereka,” kata Muhadi Sugiono.

Pada tahun 2018, telah muncul estimasi inventaris nuklir oleh beberapa negara, seperti; Amerika Serikat, Russia, Inggris, Perancis, Israel, Pakistan, India, China dan Korea Utara. Hal ini menunjukkan bahwa di masa depan terdapat perubahan aliansi pertahanan negara sebagai strategi geopolitik.

Lalu, bisakah traktat pelarangan senjata nuklir ini efektif dalam memberikan kepercayaan keamanan dunia? (/pnm).