Memanfaatkan Big Data Dalam Riset Sosial: Sharing Session Up3m Bersama Mahmud Syaltout

Unit Penelitian, Publikasi, dan Pengabdian Masyarakat (UP3M) FISIPOL UGM, mengadakan diskusi mengenai pemanfaatan Big Data (31/10). Diskusi ini menceritakan beberapa fenomena sosial akibat peningkatan penggunaan Big Data; seperti eco chamber, filter bubble, dan penebalan ideologi.Fenomena-fenomena Big Data tersebut pula, yang menurut Arya kian memberikan urgensi bagi riset sosial untuk menggunakan Big Data dalam memahami lebih banyak fenomena sosial-politik di tengah masyarakat modern kini.

Pada diskusi ini UP3M mengundang Dr. Mahmud Syaltout, S.H., DEA., kepala analis ANP-INSIGHT sekaligus dosen Sekolah Pascasarjana Paramadina, sebagai pembicara. Pengalamannya di ANP-INSIGHT yang merupakan perusahaan penyedia informasi, analisis, dan strategi bisnis berbasis data, menjadikan Mahmud sebagai salah satu tokoh terkemuka pengolahan Big Data yang juga telah mendampingi berbagai perusahaan besar bahkan institusi pemerintahan di Indonesia.

Menggunakan istilah ‘intercourse with data’, Mahmud meyakini bahwa kunci awal penggunaan Big Data dalam memperoleh informasi hingga melakukan riset, adalah keakraban manusia dengan data itu sendiri. “Manusia tidak boleh lagi kaku dengan data, tetapi nyaman dan memiliki target obyektif, entah itu prokreasi atau prorekreasi,” kata Mahmud.

Secara khusus dalam riset ilmu sosial, pengelolaan Big Data akan sangat bermanfaat bagi peningkatan sisi ilmiah dari riset tersebut. Pada tahapan pertama yakni analisis data (data analysis), riset sosial dapat memanfaatkan Big Data guna mendapatkan analisis yang lebih preskriptif. Dalam kata lain, alih-alih hanya mendeskripsikan fenomena yang terjadi di tengah masyarakat, ilmu sosial juga bisa menerka apa yang seharusnya terjadi dan apa yang dapat dilakukan ketika isu/fenomena sosial tersebut terjadi.

Tak hanya itu, Big Data dapat digunakan pula dalam melaksanakan rekayasa sosial pada riset, dengan tujuan tertentu. Big Data juga mampu memberikan variasi tersendiri bagi pendekatan dan analisis dalam riset sosial, baik kualitatif, kuantitatif, relasional, maupun percampuran antara ketiganya.

Dari segi visualisasi hasil riset sendiri, Mahmud mengungkapkan bahwa keikutsertaan audiens, menjadi titik pembeda antara laporan riset sosial tradisional dengan yang berbasis Big Data. Selain tentu saja, sajian hasil riset berbasis Big Data yang tak lagi statis dan didesain lebih modern. “Penjelasan hasil riset tidak hanya satu arah dari peneliti kepada audiens, melainkan visualisasi dan pemahaman akan temuan riset bisa sangat bergantung pada perspektif audiens yang melihatnya,” kata Mahmud.

Mahmud sendiri, menekankan pentingnya memperhatikan keterbukaan akses terhadap sumber data yang diambil dalam proses Big Data. Etika dalam Big Data, menurut Mahmud dapat dimulai dengan memastikan bahwa data yang diperoleh bersifat open-sources serta digunakan untuk tujuan positif yang tidak melanggar hukum, khususnya terkait informasi dan transaksi elektronik serta privasi. Hal ini, apabila dikaitkan secara khusus dengan riset sosial, sekaligus menghindarkan peneliti dari kesalahan akademik apabila data yang digunakan menyalahi kode etik tersebut.

Pada sesi tanya jawab, terdapat beberapa pertanyaan menarik yang disampaikan oleh peserta diskusi. Salah satunya terkait kode etik pengambilan dan pengolahan Big Data. Isu kode etik sendiri, memang telah sejak lama dibahas dalam banyak kajian. Beberapa di antaranya ulasan oleh Jeffrey F. Rayport dalam MIT Technology Review maupun Mandy Chessell dari IBM, yang turut mengajukan rumusan kode etik dalam Big Data.

Selain membahas mengenai kode etik di atas, diskusi juga menyinggung isu penyajian hasil riset sosial di perguruan tinggi Indonesia yang sering kali masih terpaku pada metode-metode tradisional yang statis.(/sno)