Menghadapi Revolusi Industri 4.0: Teknologi Mempermudah Pekerjaan atau Justru Menghancurkan?  

Yogyakarta, 20 September 2018—GAMAPI beserta Center for Digital Society (CfDS) mengadakan diskusi panel bertajuk “Peran Teknologi dalam Revolusi Industri 4.0”. untuk mengisi diskusi, CfDS dan GAMAPI mengundang Tony Seno Hartono, national officer dari Microsoft Indonesia dan dimoderatori oleh Sri Harjanto Adi Pamungkas, mahasiswa Manajemen Kebijakan Publik tahun 2016. Agenda diskusinya adalah dimulai dengan pidato pembukaan oleh Novi Paramita Dewi SIP. MDP. selaku dosen MKP Fisipol UGM, kemudian pemaparan materi oleh Tony Seno hartono, dan ditutup dengan sesi tanya jawab dengan audien yang berjumlah sekitar 70 peserta. Yang menjadi isu dalam diskusi ini adalah bagaimana peran teknologi dalam revolusi industri terutama dalam konteks indonesia, apakah ia akan menghilangkan pekerjaan, atau justru akan memberi peluang yang lebih?

Diskusi ini secara khusus berkaitan dengan kemunculan Revolusi Industri 4.0 bersamaan dengan bonus demografik yang akan dialami oleh Indonesia di tahun 2030. Bonus demografik dalam artian bahwa Indonesia akan memiliki penawaran tenaga kerja yang jauh lebih banyak dari tahun-tahun sebelumnya. Kemudian terdapat wacana bahwa Revolusi Industri 4.0 ini akan menggantikan banyak pekerjaan, terutama pekerjaan yang low-skilled atau tidak membutuhkan keahlian khusus dan pekerjaan kasar yang digantikan oleh mesin dan Artificial Intelligent (AI). Yang menjadi pertanyaan adalah apakah Indonesia sudah siap menghadapi Revolusi Industri 4.0, dan dampak positif dan negatif apa saja yang ia bawa? Pertanyaan-pertanyaan tersebut berupaya untuk dibahas melalui kaca mata praktisi bisnis dan sektor swasta.

Menurut Tony, Revolusi Industri 4.0 adalah konvergensi teknologi informasi kedalam dunia perindustrian. “Mulai dari keamanan siber, augmented reality hingga big data sudah menjadi bagian dari industri agar menjadi lebih efisien dan cost-effective” tuturnya. Ia menganalogikan dengan sebuah ruangan seminar, dalam revolusi industri 4.0 ruangan tersebut telah menjadi smart, dalam artian ia bisa menilai berapa suhu pendingin ruangan yang ideal, pengaturan cahaya melalui sensor yang dimiliki dalam mendeteksi berapa orang di dalam ruangan dan dimana saja mereka berada. Kemampuan penilaian secara smart akan membuat ruangan tersebut menjadi efisien secara konsumsi energi.  Dalam industri, Tony juga membayangkan demikian, terutama dalam dunia yang semakin rusak akibat eksploitasi, efisiensi energi sudah menjadi keharusan untuk meminimalisir hal tersebut. Lewat Internet of Things (IoT) dan Big Data, teknologi dapat mengumpulkan data-data sebelumnya untuk kemudian memprediksi ke depan apa yang harus dilakukannya, yang biasa kita sebut sebagai machine learning.

Namun Tony tidak membantah bahwa ada efek negatif dari revolusi industri 4.0 walaupun bukan dari perspektif bisnis. Salah satunya adalah terkait dengan privasi individu, ia menyebut permasalahan privasi di Uni Eropa. Privasi dalam Uni Eropa dilindungi oleh General data Protection Regulation (GDPR), yang mewajibkan perusahaan-perusahaan tersebut untuk meminta izin dari konsumen dan memberitahukan bagaimana data mereka disimpan, termasuk kepada siapa data tersebut diberikan. Dan menurut Tony, regulasi ini sangat ketat dan tegas terutama bagi perusahaan sekelas Google dan Facebook. Kemudian, seiring dengan perkembangan teknologi, ancaman kejahatan yang menggunakan teknologi juga semakin kompleks. Pelaku bahkan tidak harus berada secara fisik di tempat kejadian, namun lewat koneksi internet mereka dapat merusak sistem yang akan berpengaruh pada semua mesin dan teknologi yang berada dalam jaringan.

Terkait dengan persoalan pekerjaan yang akan digantikan, Tony berpendapat bahwa perkembangan teknologi justru akan menciptakan pekerjaan-pekerjaan baru. “Efek dari revolusi industri 4.0 ini bukan mengganti pekerja namun mengganti pekerjaannya, jadi butuh skill-set yang baru, misalnya posisi Database Administrator nantinya akan digantikan oleh Data Analyst dan itu membutuhkan skill-set yang baru” ucapnya. Sehingga yang harus dilakukan adalah pemerintah dan perusahaan menyiapkan kurikulum dan struktur pendidikan yang mampu mengatasi perubahaan skill-set dan demand dari industri. Menurutnya pemerintah harus serius dalam upayanya mengatasi perubahan, jika tidak perusahaan-perusahaan akan mencabut investasinya dan pergi dari Indonesia.

Kemudian Acara dilanjutkan dengan sesi tanya jawab yang produktif, berbagai pertanyaan menarik dilemparkan oleh audien terhadap pembicara. Salah satu audien mempertanyakan bagaimana peran sektor swasta dalam pemerataan akses teknologi dalam konteks Indonesia yang berbentuk kepulauan dan infrastrukturnya yang belum merata. Menurut Tony, permasalahan tersebut bisa diselesaikan lewat teknologi cloud. “Melalui cloud, kita tidak perlu memiliki data center sendiri namun menggunakan jasa dari perusahaan penyedia jasa cloud, namun memang infrastruktur tetap harus dibangun seperti jaringan internet yang dibangun oleh pemerintah bersama sektor swasta lewat Universal Services Obligation atau USO,” papar Tony.(/Aaf)