Patronase: Solusi atau Masalah Bagi Kesejahteraan Afrika?

Yogyakarta, 19 September 2018-Membongkar alasan mengapa negara miskin tetap miskin dan membahas mengenai kapan negara miskin terkadang menjadi kaya menjadi topik utama dalam kuliah umum bertajuk Tracking Development: Why Poor Countries Remain Poor and Sometimes Become Richer yang diselenggarakan oleh Global Engagement Office (GEO) bekerja sama dengan Kedutaan Besar Kerajaan Belanda. Kuliah tersebut menghadirkan Prof. Roel Van Der Veen dari University of Amsterdam dan diselenggarakan di Gedung BH 301 FISIPOL UGM pada Rabu, (19/09).Anggie Aditya selaku Deputy Manager GEO menjelaskan bahwa kuliah umum ini terselenggara atas kerjasama Universitas Gadjah Mada khususnya FISIPOL dengan Kedutaan Besar Kerajaan Belanda, karena GEO merupakan salah satu unit pendukung di FISIPOL yang memfasilitasi hubungan kerja sama dengan pihak luar. “Kuliah ini terselenggara berkat kerjasama UGM khususnya FISIPOL dengan Kedutaan Besar Kerajaan Belanda. GEO memfasilitasi dosen baik dari ranah nasional maupun internasional yang ingin berbagi ilmunya atau berbagi hasil penelitiannya di FISIPOL,” papar Anggie. Isu tersebut menurut Anggie menarik untuk dibahas karena relevan dengan keadaan saat ini, dimana kesejahteraan masyarakat menjadi suatu “problem” yang tengah diperjuangkan melalui kebijakan yang terbentuk di suatu negara. “Isu ini sangat menarik, karena isu kesejahteraan di suatu negara menjadi suatu hal yang sedang diperjuangkan,” tutur Anggie.

Mengawali diskusi, Prof. Roel membandingkan kesejahteraan negara – negara di Asia dengan Afrika. Ia membahas sebab terjadinya perkembangan yang cepat versus kesejahteraan yang stagnan dan berkelanjutan. Sebagai contoh, Ia membandingkan kesejahteraan pulau Jawa dibandingkan dengan yang lainnya. Jawa menjadi lebih sejahtera karena letak pemerintahan pusat berada disana dan tentunya untuk mempermudah memenuhi kebutuhan para elit negara. Atas hal tersebut, kemudian Prof. Roel membandingkan kesejahteraan Indonesia dengan Afrika.

“Mengapa Jawa lebih kaya dan sejahtera daripada pulau lainnya? Itu karena pusat pemerintahan berada disana,” papar Prof. Roel. Indonesia dan Afrika merupakan negara yang miskin. Namun, mengapa Indonesia dianggap lebih kaya dibandingkan dengan Afrika?

“Hubungan antara elite negara dan masyarakat kelas bawah adalah hubungan patronase, dimana masyarakat selalu dikontrol dan dikendalikan untuk memenuhi kebutuhan perkotaan,” jelas Prof. Roel. Hubungan patronase biasa didefinisikan sebagai kekuasaan untuk memberikan tugas pada “mesin” birokrasi pada semua tingkatan atau hubungan yang dibentuk untuk pendistribusian sumber daya yang berharga. Terdapat patron yang memiliki kekuasaan dan ingin mempertahankannya dan terdapat klien yang berada pada posisi subordinat, walaupun pengertian subordinat tersebut tidak sepenuhnya berarti. Orang kaya atau seseorang yang “berada” dapat melakukan apapun atau memberi apapun kepada masyarakat kelas bawah karena kekuasaan yang melekat pada dirinya. Pada negara – negara di Afrika hubungan tersebut terjadi sangat kuat, kemudian menyebabkan keseimbangan kesejahteraan di Afrika tidak merata atau tidak seimbang. “Afrika merupakan salah satu negara yang menganut hubungan patronase yang kuat, akibatnya kesejahteraan mereka menjadi tidak seimbang,” jelas Prof. Roel.

Pembahasan lebih lanjut, Prof. Roel menggunakan bidang agrikultur sebagai perbandingan lebih detail antara Indonesia dan Afrika. Ia menjelaskan bahwa Indonesia menggunakan sumber daya alamnya dalam awal pembangunan kesejahteraannya. Tentu, ini merupakan kesadaran yang baik, faktanya Indonesia memiliki kekayaan agrikultur yang melimpah dan selanjutnya merambah ke dunia industri. Namun, hal ini tidak dilakukan oleh Afrika yang sesungguhnya negara tersebut pun berpotensi mengembangkan bidang agrikultur. Kebijakan ini menjadi lebih fatal ketika hubungan patronase pun dipraktikkan didalamnya.

Praktik hubungan patronase di Afrika pun dijelaskan secara gamblang oleh Prof. Roel. Ia menjelaskan bahwa petani menjual hasil tanamnya kepada elit dengan harga yang murah, kemudian hanya dinikmati oleh para elit saja. Sedangkan, keluarga di Afrika menggantungkan hidupnya hanya kepada satu orang di keluarganya yang dianggap “berada”.

“Dan parahnya, apabila terdapat masyarakat yang sukses dengan entrepreneur-nya, elit negara kemudian mengontrolnya dengan memanipulasi kebijakan di daerah masyarakat kelas bawah,” papar Prof.Roel. Hal tersebut menjelaskan bahwa hubungan patronase menjadi political issue yang menguat di Afrika. Menutup diskusi, Prof. Roel memberikan solusi bahwa sebaiknya terdapat revolusi untuk mengubah sudut pandang politik, untuk menjadi cara hidup yang baru dan melindungi hal – hal baru seperti kelas menengah. Selain itu, perlu meningkatkan edukasi mengenai betapa pentingnya menjaga stabilitas suatu negara dan tidak hanya mengutamakan sumber daya dan capital economy. (/pnm)