Sumpah Pemuda di Era 4.0 : Bangkitnya Peran Pemuda dalam Teknologi

Yogyakarta, 28 Oktober 2018 – YouSure Fisipol UGM menggelar Seminar dan Dikusi dalam rangka memperingati Hari Sumpah Pemuda. Bukan sekedar peringatan simbolis semata, namun peringatan dilakukan dengan berdiskusi membahas Pemuda Era 4.0: Pemuda di Era Big Data yang diselanggarakan di Ruang Auditorium BB Lt. 4 Fisipol UGM pada Minggu (28/10).

Meskipun acara diselanggarakan pada Hari Minggu, peserta antusias mengikuti seminar peringatan sumpah pemuda dengan pembahasan yang segar. Pasalnya, pemuda di era 4.0 memiliki peran yang secara signifikan telah bergeser. Sudah 90 tahun berlalu dan zaman telah memasuki era disrupsi yang sifatnya eksponensial. Hal ini disampaikan oleh Lisa Lindawati, dosen Ilmu Komuninkasi Fisipol UGM yang menjadi moderator pada Seminar Pemuda Era 4.0

“Problemnya bukan lagi cara mencari informasi, tapi memilih informasi,” ujar Novi Kurnia, dosen Ilmu Komunikasi Fisipol UGM pada pemaparan materinya. Hoaks telah menjadi masalah besar dalam era disrupsi, maka peran pemuda sangat dibutuhkan untuk menangkal hoaks. Dalam penelitiannya, topik hoaks yang paling marak adalah mengenai isu politik yang saluran terbesarnya adalah media sosial,  serta sasaran terbesarnya adalah usia remaja. Maka, dibutuhkan literasi digital dimana peran pemuda adalah mengubah perspektif digital dengan pendekatan kreatif.

Gasan gerakan literasi digital ini secara konkrit terbentuk melalui asosiasi Jaringan Pegiat Literasi Digital Indonesia (Japelidi) yang dikoordinatori oleh Novi Kurnia.

Berdasarkan  Japelidi, terdapat 10 langkah efektif dalam menerapkan literasi digital yaitu: akses, seleksi, pahami, analisis, verifikasi, evaluasi, distribusi/sharing, produksi, partisipasi dan kolaborasi. Meskipun langkah ini tidak menjamin hilangnya hoaks tapi langkah ini efektif dalam mengurangi produksi hoaks. “Hoaks pasti tetap ada, tapi kalau dihajar dengan sharing informasi yang bagus, pasti hoaksnya berkurang,” ujar Novi.

Di sisi lain, pemuda di era 4.0 juga punya peran besar dalam bidang ekonomi digital. Andhyta Firseliy Utami yang akrab dipanggil Afu, dalam pemaparan materi menyajikan data bahwa pada periode 2013-2018, 5-6% pertumbuhan di Indonesia 10%-nya merupakan kontribusi dari ekonomi digital. ”Ekonomi digital yang sering dianggap ancaman dalam menghilangkan pekerjaan, sebenarnya merupakan enabler,  bukan kompetitor,”  ujar Afu.

Disampaikan bahwa distribusi sosio ekonomi sebesar 35% pendapatannya berasal dari online shop.  Tak hanya itu, online shop yang banyak dijalankan oleh perempuan juga mendukung pemberdayaan perempuan secara efektif.

”Tetapi apakah ekonomi digital berhenti di sekitar marketplace dan aplikasi?” tanya Afu kepada audiens. “Pemanfaatan teknologi bisa digunakan untuk pengembangan produk-produk offline yaitu dibidang retail dengan menciptakan konsep belanja dengan teknologi yang saat ini telah diterapkan oleh AmazonGo, manufacturing  dengan konsep produksi dengan autonomus serta pertanian dengan self regulated greenhouse, dan geo tagging.

Selanjutnya Budiman Sudjatmiko membuka materi dengan konsep “Firehose of Falsehood”, yaitu propaganda yang berusaha mendapatkan perhatian media, melakukan pernyataan partial truth, dilakukan terus menerus untuk membangun kebencian dan ketakutan. Firehose of Falsehood ini sulit dihadapi dengan pembuktian data, yaitu fakta seringkali sulit diterima sedangkan kebohongan mudah dicerna.

“Fakta lebih sering membosankan daripada kebohongan, akibatnya manusia memiliki bias informasi. Maka dari itu, penyaringan hoaks sebenarnya dimulai dari perbincangan keluarga, bukan kosep dan teori di bangku pendidikan yakni bagaimana kita memandang suatu informasi dan nilai-nilai yang ditanam orangtua dalam merespon suatu hal,” tutup Budiman. (/Afn)