Tagar #PapuanLivesMatter: Kampanyekan Persoalan Papua yang Belum Terselesaikan

Yogyakarta, 27 Juni 2020—Melalui virtual discussion yang dipelopori oleh Korps Mahasiswa Politik dan Pemerintahan, FISIPOL, UGM, Warung Politik berjudul Papua Itu “Kita”, #PapuanLivesMatter (Rasisme dan Pembungkaman Kebebasan Politik) telah berhasil dilaksanakan dengan mendatangkan Cahyo Pamungkas (Peneliti LIPI “RoadMap 4 Masalah Papua”), Tigor Hutapea (Yayasan PUSAKA Bentala Rakyat), Sayang Mandabayan (Ex Tapol September 2019), dan Maximus Sedrik (Aliansi Mahasiswa Papua).

Jalannya diskusi ini menghasilkan dialog interaktif sebab narasumber memberikan gagasannya dengan perspektif yang dibawa oleh masing-masing. Pada pemaparan awal, Maximus Sedrik menceritakan pengalamannya mengalami diskriminasi rasial sebagai Mahasiswa Papua yang merantau di Jawa untuk mengenyam pendidikan. Dan pada kenyataannya, kawan-kawan Papua menurut apa yang disampaikan Maximus, masih sering kali memperoleh perlakuan diskriminasi rasial, utamanya ketika mereka hendak mengadakan diskusi. Pergerakan yang dilakukan oleh Mahasiswa Papua selalu dilabeli sebagai bentuk dari adanya gerakan separatis.

Di tengah hantaman krisis kesehatan dan ekonomi, kondisi kemanusiaan belakangan ini diwarnai dengan aroma bangkitnya solidaritas masyarakat sipil dalam kembali memperjuangkan isu-isu kemanusiaan. Salah satu yang menjadi bahan perbincangan dunia adalah ketika insiden yang terjadi pada George Floyd yang mendaptkan perlakuan diskriminatif dari salah satu polisi yang ada di Amerika. Aksi kemanusiaan ini ternyata juga berhembus di tanah air Indonesia, tak hanya itu, suara-suara yang membela persoalan yang menimpa orang Papua yang sempat lenyap tak banyak diperbincangkan kembali mencuat publik dengan masifnya kampanye tagar #PapuanLivesMatter. Isu hangat ini telah banyak dikaji oleh berbagai kalangan, tak terkecuali dari kalangan mahasiswa yang giat menyuarakan pendapat dalam tujuan untuk membredel kasus diskriminasi rasial dan pembungkaman kebebasan yang selama ini dialami oleh kawan-kawan Papua.

Perlakuan diskriminasi rasial ini juga dialami oleh Ex Tapol, Sayang Mandabayan yang dituduh makar hanya karena membawa bendera bintang kejora pada saat melakukan aksi spontanitas. Memilukannya lagi, proses penegakan hukum yang dialami Sayang justru mengintimidasi pelaku tidak bersalah (Sayang) dengan melakukan setting terhadap salah satu saksi yang dijumpai Sayang pada saat di pengadilan. Kepada audiens, Sayang juga menuturkan bahwasanya luka terhadap perlakuan diskriminasi dan intimidasi ini memberikan luka bekas yang sampai detik ini susah untuk dihapuskan. Sayang memberikan pandangannya bahwa Indonesia dianggap gagal meng-Indonesiakan Papua lantaran masih banyak persoalan-persoalan mengenai Papua yang belum terselesaikan dan pemerintah justru cenderung acuh terhadap hal tersebut.

Menyikapi mulai banyaknya pihak-pihak yang speak up terhadap isu Papua, Cahyo Pamungkas membeberkan hasil riset selama empat tahun bersama timnya yang berjudul RoadMap 4 Masalah Papua, dimana terdapat empat persoalan besar perihal Papua yang signifikan dan belum terselesaikan. Pertama, persoalan sejarah dan status politik yang kiranya perlu dilakukan pelurusan oleh negara terkait kedua hal tersebut. Kedua, persoalan sejarah kekerasan politik dan kekerasan HAM yang menimbulkan akumulasi penderitaan kolektif (memori pasionis) bagi orang-orang Papua. Ketiga, persoalan gagalnya pembangunan yang cenderung malah memunculkan marjinalisasi dan depopulasi terhadap orang asli Papua lantaran pembangunan yang disasar justru meminggirkan konsep culture based development. Dan yang terakhir, persoalan diskriminasi dan marjinalisasi orang Papua dalam berbagai aspek, mulai dari aspek ekonomi, budaya, dan politik.

Sementara itu, Tigor Hutapea memberikan pendapatnya terkait adanya konstruksi sosial yang dibentuk sehingga mengakibatkan adanya manusia yang memiliki kebencian dan rasis terhadap yang lainnya. Sebagaimana yang diketahui, banyak stigma yang dilontarkan kepada orang Papua seperti dianggap primitif, keras, terbelakang, dan lain-lain. Yang mana kemudian, terbangunnya stigma inilah yang sering digunakan dalam mendiskriminasi orang-orang Papua. Alhasil, adanya bias sosial yang dibentuk dalam menstigma orang Papua inilah yang juga akan berpengaruh dalam berjalannya berbagai aspek kehidupan orang Papua, misalnya terdapat sistem pendidikan yang disamaratakan dengan yang ada di Jawa. Yang mana hal ini justru mengarah pada peminggiran hak-hak yang dimiliki oleh warga Papua. Keberadaan hukum selama ini juga banyak yang merepresi kebebasan politik orang Papua sehingga kiranya perlu dilakukan pembaharuan hukum dan hal ini menjadi tugas dari negara untuk mewujudkan penegakan hukum yang responsif dan anti diskriminatif untuk orang-orang Papua.

Contoh konkrit dari pengalaman-pengalaman yang dialami oleh kawan-kawan Papua kita diatas merupakan gambaran bahwasanya tagar #PapuanLivesMatter menunjukkan bahwa masih banyak persoalan-persoalan yang dialami oleh orang-orang Papua dan negara masih seolah acuh dan tidak segera bertindak dalam memecahkan persoalan tersebut. Apa yang kemudian harus tetap dilakukan adalah terus menyuarakan pembelaan atas dasar kemanusiaan dalam membantu mewujudkan kehidupan yang lebih baik dengan menghilangkan tendensi diskriminatif dan rasis. (/Adn)