Di tahun 2019 mendatang, Indonesia akan menyambut pesta demokrasi yaitu pemilihan presiden (Pilpres) yang hanya terjadi lima tahun sekali. Meskipun Pilpres masih akan dilaksanakan tahun depan, aroma perdebatan-perdebatan politik sudah muncul di berbagai media. Salah satu yang sedang hangat diperbincangkan adalah lolosnya Partai Berkarya buatan Tommy Soeharto sebagai peserta Pemilihan Umum (Pemilu) 2019.
Tommy Soeharto sendiri merupakan salah satu anak kandung dari Soeharto yang maraup banyak keuntungan dari masa Orde Baru. Dia juga ditengarai terlibat langsung dalam konspirasi pembunuhan hakim agung. Latar belakang inilah yang menyebabkan munculnya asumsi bahwa Tommy Soeharto adalah tanda bangkitnya Orde Baru.
Dalam Seri Diskusi 20 Tahun Reformasi yang bertajuk “Serpihan Partai Golkar dan Demokrasi Pasca–Soeharto” (20/03), Wawan Mas’udi mengungkapkan bahwa asumsi tersebut bukan hal yang baru. Diskusi yang diselenggarakan oleh Managemen Administrasi Publik (MAP) Corner-Club ini juga mengundang Rudiyanto dari Militan Indonesia sebagai pemantik diskusi.
Bertempat di Lobby MAP Fisipol Unit II, Wawan memaparkan bahwa reformasi memang membawa perubahan, namun hanya bersifat prosedural. “Dulu kalau mau jadi gubernur harus punya pangkat kolonel, sekarang itu tidak berlaku lagi karena lewat Pemilu. Perbedaan memang banyak dari sisi prosedural,” paparnya. Menurut Wawan, Jika kita melihat politik dalam konteks substansi dalam hal ini power relation atau control, sesungguhnya tidak ada perubahan sama sekali antara asas 1998 dengan yang sekarang. Oleh karena itu, Wawan menegaskan bahwa asumsi bangkitnya Orde Baru merupakan hal yang tidak mengejutkan.
Selama 20 tahun reformasi arena perpolitikan masih dikuasai oleh aktor-aktor dari rezim Orde Baru. “Jokowi misalnya, meskipun beliau merupakan aktor baru, namun kita bisa melihat siapa saja yang ada dibaliknya,” jelas Wawan.
Laki-laki yang juga merupakan Dosen di Departemen Ilmu Politik dan Pemerintahan (DPP) Fisipol UGM ini menambahkan bahwa setelah hibernating atau tidur panjang, Tommy Soeharto memanfaatkan momentum ini untuk kembali muncul. “Sekarang sudah tidak ada lagi yang teriak benci Orde Baru, yang ada adalah bakar PKI (Partai Komunis Indonesia),” tambahnya. Kebencian terhadap PKI hingga saat ini adalah salah satu bukti bahwa memang aktor-aktor Orde Baru masih menguasai arah perpolitikan di Indonesia.
Fakta ini tentu juga mempengaruhi sektor-sektor lainnya. Seperti yang banyak diketahui bahwa Orde Baru sangat melekat dengan sistem state capitalism yaitu kapitalisme yang ditopang penuh oleh negara. Menurut Wawan, sistem ini juga tidak bergesar sampai sekarang. “Kekuatan-kekuatan ekonomi besar itu tetap saja kekuatannya juga besar. Jalan tol misalnya, perusahaan terbesar pun dipimpin oleh salah satu anak Soeharto yaitu Siti Hardijanti Rukmana atau yang biasa disebut Tutut. Terkait kepemimpinan perusahaan tersebut, apakah reformasi mengambil alih perusahaan tol terbesar ini dari grup Tutut dan membuat kontrak ulang, menurut Wawan hal tersebut tidak dilakukan sampai sekarang dimana reformasi sudah berjalan selama 20 tahun.
Dalam pemaparannya, Rudiyanto juga membenarkan hal tersebut. Menurutnya, reformasi memang membawa persoalan yang bersifat paradoks. “Terjadi paradoks sejak reformasi, konsodilasi reformasi sebutlah dalam hal ini secara khusus konsolidasi demokrasi prosedural itu malah justru memungkinkan kekuatan-kekuatan yang mau didobrak oleh reformasi justru berkonsolidasi,” paparnya.
Namun, Riyanto menegaskan bahwa keadaan ini memang hasil maksimal dari reformasi karena reformasi adalah suatu perbaikan dalam sebuah sistem bukan penggantian sistem. Sehingga wajar jika masih terbayang-bayang dengan sistem lama. Menurutnya, dalam setiap momentum revolusi sosial itu selalu ada tiga kemungkinan hasil yaitu revolusi, kontra revolusi, dan reformasi. (/ran)