Yogyakarta, 26 Oktober 2023—Indonesia sebagai negara multikultural memiliki kekayaan alam dan budaya yang melimpah. Aspek komunitas adat atau suku pedalaman menjadi akar dari pondasi bangsa. Sayangnya, komunitas ini masih belum tersentuh aspek hak asasi manusia, politik, bahkan legalitas. Untuk itu, Departemen Politik dan Pemerintah, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM bersama Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) menggelar konferensi Asia-Pasifik bertema “Indigeneity and Human Rights in Asia and the Pacific Towards a Just Society: Challenges and Opportunities” pada 25-26 Oktober 2023.
Bukan hanya Indonesia, negara-negara di Asia-Pasifik umumnya memiliki komunitas masyarakat yang kental akan warisan budaya. Pemaknaan akan komunitas masyarakat sendiri sangat bervariasi, mulai dari masyarakat yang terbentuk karena kesamaan demografi, agama, suku, budaya, dan lain-lain. Konferensi ini melibatkan akademisi, pemerintah, praktisi, ahli, dan mahasiswa untuk memaparkan tantangan seperti apa yang sebenarnya dihadapi oleh komunitas-komunitas tersebut. Dan tentunya bagaimana melindungi hak asasi mereka dalam kondisi saat ini.
Sebagai negara dengan prinsip ketuhanan, salah satu isu yang banyak muncul adalah konflik komunitas keagamaan. Negara mengakui adanya lima agama resmi dalam data penduduk. Namun, terdapat komunitas-komunitas yang seringkali memiliki paham berbeda. Perbedaan ini kemudian menimbulkan konflik, bahkan antar sesama umat beragama. “Kami meneliti komunitas muslim minoritas Ahmadiyyah yang sering mendapat penolakan dari komunitas lainnya. Mereka diserang dan dikucilkan, bahkan juga diusir hingga mereka kehilangan rumah. Tapi isu ini belum pernah dianggap diskriminasi oleh hukum,” ucap peneliti, Firmanda Taufiq.
Ia menjelaskan, sejak era orde baru berakhir, pergerakan HAM yang sebelumnya dilarang oleh pemerintah mulai kembali digaungkan. Tapi tetap saja perkembangan HAM terus mengalami stagnansi. Hal ini terlihat jelas dari beberapa kasus kekerasan, diskriminasi, dan intoleransi yang tidak pernah terselesaikan dan sering dianggap remeh. “Salah satu contohnya terjadi pada komunitas Ahmadiyyah ini. Menurut beberapa penelitian, serangan yang dialami kelompok ini ternyata diprovokasi oleh masyarakat lokal. Bahkan pemerintah juga mendukung adanya penolakan kelompok Ahmadiyyah ini,” tambahnya.
Konferensi yang dihelat selama dua hari tersebut menghasilkan setidaknya lima objektif utama. Pertama, definisi dan kontekstualisasi pribumi di masyarakat Asia dan Pasifik. Kedua, mengelaborasi isu-isu HAM seputar politik, demokrasi, kesetaraan gender, hak atas tanah, budaya, aksesibilitas layanan masyarakat, pendidikan, dan lain-lain. Ketiga, mengeksplorasi peluang untuk melidungi HAM masyarakat. Keempat, menyusun rekomendasi kebijakan untuk pemerintah. Dan terakhir, mengelaborasi diskusi antar disiplin tentang keberlangsungan HAM di Asia-Pasifik.
6th Conference of Human Rights ini turut mendukung implementasi poin-poin Suistanable Development Goals (SDGs), khususnya poin 16 tentang perdamaian, keadilan dan pemerintah yang kuat. Setiap orang pada dasarnya dilahirkan dengan Hak Asasi Manusia yang tidak dapat dirampas dari dirinya. Apapun agamanya, adatnya, budayanya, ras, kelompoknya, semua memiliki kesetaraan dan hak yang sama. Upaya menumbuhkan keadilan dan perdamaian tidak akan berjalan tanpa adanya kesadaran dari berbagai pihak. Masyarakat, pemangku kebijakan, akademisi, dan stakeholders lainnya harus bekerja sama untuk menegakkan kembali HAM di Indonesia. (/tsy)