Center for Digital Society (CfDS) Fakultas Ilmu Sosial dan Politik menyelenggarakan Digital Future Discussion (Diffussion) pada Kamis (12/4). Dengan mengangkat topik digital governance atau pemerintahan digital, terdapat tiga subtopik yang menjadi pembahasan. Pembicara dalam diskusi tersebut diisi oleh tiga peneliti CfDS, yaitu Priscila Asoka Kenasri (Research Assistant CfDS), Chaira Anindya (Research Associate CfDS), dan Faiz Rahman (Researcher CfDS).
Diskusi pertama disampaikan oleh Asoka, yang mengangkat tema pembahasan mengenai pengaruh media sosial dalam memanipulasi atau melemahkan demokrasi. Sebelumnya, ditayangkan video bagaimana kebijakan negara Tiongkok dalam melakukan censorship berbagai media sosial di negaranya untuk berbagai alasan “perlindungan”. Salah satu caranya adalah dengan menekan kebebasan bermedia sosial oleh masyarakat di negaranya.” Tiongkok, merupakan salah satu contoh negara yan memiliki internet freedom paling rendah di dunia. Ia mengungkapkan bahwa sebenarnya rata-rata masyarakat di dunia yang teropresi melalui media sosial berjumlah lebih besar daripada masyarakat yang benar-benar memiliki internet freedom,” ungkap Asoka. Ia juga menuturkan adanya tiga bentuk manipulasi media sosial yang mengancam demokrasi. “Tiga cara pemerintah yang mengancam demokrasi dalam memanipulasi konten adalah pertama, melalui political boots, yaitu membuat akun-akun palsu untuk menggeser fokus orang, propaganda, dan fake news,” jelasnya. Namun, ancaman demokrasi tidak hanya datang secara represif dengan alur top-down namun juga secara bottom-up. Dalam diskusi yang berjalan, diakui bahwa ancaman demokrasi melalui kebebasan media sosial juga dapat datang dari masyarakat itu sendiri, contohnya melalui pelintiran kebencian dan propaganda yang datang dari masyarakat yang ditujukan ke pemerintahnya.
Selanjutnya diskusi diisi oleh Chaira, dengan membawa topik e-government. Menurutnya, Indonesia memiliki potensi dan kesempatan besar dalam meluaskan dan memperkuat implementasi e-government. “Sebagai pengguna media sosial terbesar ke-5 di dunia, Indonesia memiliki banyak potensi dalam mengimplementasikan e-government”, tutur Chaira. Menurutnya e-government bukan hanya memudahkan sistem administrasi pelayanan publik namun juga membangun interaksi antara elit politik dan masyarakat secara lebih interaktif. Sayangnya, di tengah potensi yang besar tersebut Indonesia masih berada dalam posisi yang dikatakan rendah jika dibandingkan dengan negara-negara di dunia yang mengimplementasi e-government.
“Indonesia saat ini ranking 98 dari 193 negara yang ada di dunia dalam ukuran implementasi e-government. Tren Indonesia yang terlihat cukup fluktuatif dalam ranking e-government di dunia ini disebabkan oleh cepatnya inovasi dari negara lain dalam mengembangkan e-government di negaranya masing-masing,” tambah Chaira.
Sesi terakhir diskusi diisi oleh Faiz. Membawa topik diskusi berupa dilema kebijakan pemerintah Indonesia yang dilakukan baru-baru ini, yaitu berupa mekanisme pendaftaran nomor menggunakan kartu keluarga dan kartu penduduk, menurutnya kebijakan tersebut juga digunakan untuk perlindungan masyarakat itu sendiri. “Tujuan dari proses pendaftaran nomor tersebut sebenarnya sebagai usaha preventif untuk melindungi privacy konsumen, penanggulangan tindak kejahatan, dan tracking nomor apabila terjadi hal seperti pencurian handphone,”. Walaupun begitu, menurutnya masih banyak mekanisme dan kerangka regulasi yang harus dipenuhi oleh pemerintah untuk mengamankan data-data privasi berupa nomor dan kartu keluarga yang telah didaftarkan. “Agar nantinya kepercayaan publik terhadap pemerintah tetap terjaga, regulasi yang ketat dan aturan yang kuat mengenai perlindungan data perlu diperhatikan,” tambah Faiz.(/fdr)