Pada Kamis (19/4), Fisipol Creative Hub (C-Hub) kembali menggelar sharing session di Digilib Cafe, Fisipol UGM. Di acara kali ini mereka mengundang Fathimah Safety Ojek (FSO) dan Halo Hiburan.
FSO adalah start up yang bergerak di bidang transportasi. FSO menyediakan layanan ojek daring. Ia mempunyai ciri khas sebagai ojek syariah. Usaha ini fokus untuk melayani perempuan, anak-anak, dan pengataran barang. Sampai saat ini, FSO hanya beroperasi di Yogyakarta.
Para pendiri FSO menyadari layanan transportasi umum di Yogyakarta buruk. Di sisi lain, masyarakat Yogya membutuhkan layanan transportasi yang nyaman dan mudah. Banyaknya pelajar di kota ini semakin membuat permintaan layanan transportasi yang handal menjadi tinggi. “Apalagi untuk anak-anak TK yang orang tuanya tidak sempat mengantarkan ke sekolah karena harus bekerja,” kata Zikri, salah satu pendiri FSO. Ia berbicara tentang potensi pasar anak-anak sekolah yang membutuhkan layanan antar-jemput.
Fenomena hijrah yang semakin marak akhir-akhir ini, kata Zikri, membuat kebutuhan masyarakat terutama perempuan muslim terhadap ojek syariah semakin meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan masyarakat terhadap layanan ojek semakin khusus. Sebagian masyarakat kini tidak hanya menginginkan ojek yang mudah, murah, dan nyaman, tapi juga ingin ojek yang sesuai dengan ajaran agama Islam. “Kami punya tujuan melayani muslimah yang punya keinginan kuat untuk menjaga syariat dengan baik,” ujar Zikri.
Zikri bercerita, awal pembentukan FSO dimulai dari ketidaksengajaan. Ketika masa Kuliah Kerja Nyata (KKN), Zikri dan beberapa pendiri FSO lainnya mencoba membagikan broadcast melalui kanal grup chatting. Isinya, mereka menawarkan layanan ojek khusus untuk muslimah. Tak disangka, telepon dan pesan yang masuk ke nomer narahubung sampai lebih dari seratus orang. Mereka akhirnya menyadari sebuah potensi pasar.
Proses pendirian FSO bisa dibilang sangat cepat. “Kita lakukan dalam 3 hari. Hari Kamis persiapan, Jumat sebar poster, Sabtu merekrut pengemudi, lalu hari Minggu beroperasi. Karena hari Seninnya waktu itu adalah masa orientasi mahasiswa UGM,” jelas Zikri. Pada masa-masa orientasi mahasiswa ini, FSO langsung banyak mendapatkan order. “Sehari bisa sampai 60-70. Tapi yang bisa dilayani 40-50. Akhirnya kita merekrut pengemudi lagi,” lanjut Zikri.
Profil driver di FSO adalah para mahasiswi dan ibu rumah tangga. Semuanya berjilbab. Karena, dalam persyaratan pendaftaran pengemudi, FSO memang mencantumkan syarat berjilbab. Namun, FSO tidak membatasi pelanggannya untuk yang berjilbab saja.
Zikri mengklaim FSO mengutamakan interaksi kekeluargaan antara pengemudi dan pelanggan. Bahkan, ketika ada yang ingin berlangganan, FSO langsung mendatangi rumah si calon pelanggan. Yang biasanya berlangganan adalah para orang tua yang tidak sempat mengantarkan anaknya ke sekolah.
Mengenai isu negatif yang kini menerpa bisnis ojek daring yaitu perilaku buruk driver dan konflik dengan ojek konvensional, FSO punya cara tersendiri untuk menghadapinya. FSO langsung melatih para calon pengemudi ketika sudah dinyatakan diterima. Selain itu, FSO rutin mengadakan evaluasi. “Kritik dan saran kan masuk terus. Itu kita olah dan tiap dua minggu kita sampaikan kepada para pengemudi sebagai bahan evaluasi,” kata Zikri. FSO juga tidak menggunakan seragam yang mencolok untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.
Untuk tahap pengembangan usaha, FSO ingin fokus membenahi sistem terlebih dahulu. Meskipun sudah banyak tawaran dari berbagai kota untuk melebarkan daerah operasi, FSO masih belum berani melakukannya. Zikri bilang FSO ingin meminimalisir ketidakpastian dalam bisnis mereka terlebih dahulu. “Kalau target sih ya inginnya se-Indonesia,” ujarnya.
Hambatan lain yang dihadapi FSO adalah kesediaan jam kerja para pengemudinya. Pasalnya, pengemudi ibu-ibu yang besar jumlahnya di FSO sering kali masih harus melakukan pekerjaan rumah. “Kita juga nggak bisa memaksa ibu-ibu untuk tetap kerja di hari libur kan ya? Sementara order di hari libur meningkat,” jelas Zikri.
Pembica kedua dalam sharing ini adalah Aryo, pendiri Halo Hiburan. Aplikasi ini menghubungkan Event Organizer (EO) dengan performer. Keberanian Aryo dan teman-temannya mendirikan Halo Hiburan berdasar hasil riset yang mereka lakukan. Dari riset itu akhirnya mereka tahu masalah-masalah yang dihadapi para EO dan performer. Mereka menyurvei 47 EO dan performer.
Hasil riset tersebut menunjukkan, permasalahan yang dihadapi performer adalah susah dapet job call karena kurang populer dan marketing tidak lancar. Sedangkan masalah yang dihadapi EO adalah keterbatasan informasi dan jaringan, dana terbatas, dan negoisasi yang sering membutuhkan waktu yang lama. Aryo mencoba mengatasi permasalahan kedua pihak ini dengan mempertemukan mereka dalam Halo Hiburan. Namun, Halo Hiburan masih bergerak hanya di tingkat low budget sampai medium budget.
Aryo memaparkan bahwa bisnis semacam Halo Hiburan sebetulnya punya pasar yang cukup besar. Ia mengambil contoh kampus UGM. Di universitas ini, terdapat 67 departemen. Aryo mengasumsikan 1 departemen mempunyai 2 big event setiap tahun. Berarti, tiap tahunnya di UGM ada 134 event. Lalu, di Indonesia terdapat 4497 kampus. Aryo berasumsi 20 persen dari jumlah kampus tersebut ada event seperti di UGM. Berarti ada sekitar 120-an ribu event setiap tahunnya. “Meskipun ini hanya perhitungan kasar, tapi ada potensi pasar yang besar,” kata Aryo.
Di Halo Hiburan, pihak EO dapat menemukan informasi performer secara lengkap seperti diskripsi, foto, video, harga, dan kapan performer tersebut bisa memenuhi tawaran. Pihak EO juga bisa memberikan feedback kepada performer.
Tantangan yang dihadapi Halo Hiburan adalah munculnya pesaing. Halo Hiburan mencoba mengatasi hal itu dengan memperbanyak inovasi. “Selain itu, bisnis ini punya kelemahan. Saat menggunakan jasa performer, EO jadi kenal dengannya dan akhirnya tidak lagi memesan lewat aplikasi. Tapi langsung ke si performer,” keluh Aryo.(/dim)