Septiaji Eko Nugroho dari Mafindo menjadi narasumber pertama dalam sarasehan ini. Baginya, tantangan Indonesia saat ini adalah cara bagaimana menyerang berita bohong. “Kita bisa belajar dari Myanmar yang pernah mersakan efek hoaks yang menyebabkan terjadinya genosida di Rohingnya,” tuturnya.
Hoaks inilah yang merusak rasiolitas publik dan kualitas demokrasi serta menyerang legitimasi penyelenggaraan pemilu yang hasilnya adalah distorsi. Post-truth juga merupakan latar belakang yang menyebabkan distorsi.
“Maka, medorong pertemuan tatap muka seperti sarasehan merupakan salah satu usaha untuk menimalisir distorsi informasi. Mafindo sebagi komunitas sendiri melakukan verifikasi cek fakta bersama yang saling berkolaborasi terhadap isu-isu yang berpotensi merusak”, paparnya.
Pipit Subiyanto dari Ditreskrimum POLDA DIY juga turut memaparkan bahwa hoaks terjadi karena ada nilai luhur yang dilupakan. “Maka dari itu, mengurangi saling sebar berita bohong bisa dimulai dari komunikasi antar latar belakang yang dua arah. InsyaAllah tidak akan ada miskomunikasi malah akan menjadi kordinasi dan kolaborasi “
Vikaris Jenderal Keuskupan Semarang, R.D Yohanes Rasul Edy Purwanto, mengatakan setidaknya ada tiga kata kunci yakni cerdas bijaksana, judge atau menilai dan act atau bertindak. Bijaksana dapat tercermin dari prinsip think before sharing or click, menilai suatu isu juga dapat dilakukan melalui membaca dari media well estabilished yang nantinya pembaca mampu membuat diskresi.
“Dengan landasan kasih, duduk bersama dan menghilangkan kecurigaan merupakan langkah yang harus ditempuh,” imbuh Edy.
Pengamat Sosial dan Politik yang popular di media sosial, Iqbal Aji Daryono mengungkapkan alasan mengapa menyebarkan berita kebaikan sangat sulit. Baginya, ada keuntungan yang diambil oleh beberapa pihak yang berlawanan antara civil society dengan industri.
“Yang paling diuntungkan adalah media, target mereka adalah jumlah click. Maraknya agen buzzer hoaks juga merupakan bentuk hoaks yang sulit dikontrol. Selain itu, penyebaran hoaks juga tidak lepas dari peran pihak parpol sendiri karena target mereka adalah ‘menang dulu’,” papar Iqbal.
“Hoaks memang bisa dihilangkan secara bertahap jangka panjang dengan membangun perjumpaan langsung. Hal ini dikarenakan hoaks lebih efektif pada masyarakat yang emosional terutama di media sosial. “ tambah Iqbal.
Narasumber terakhir, Abdul Gaffar Karim, pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada mengatakan bahwa hoaks tidak akan pernah diselesaikan. “Kalau sudah diterima ya sudah, kembali pada individual. Upaya yang bisa ditempuh adalah berhenti menyebarluaskan.” Baginya persoalan haoks merupakan persoalan individu yang bisa diselesaikan melalui pencerdasan diri masing-masing.
Selain itu, mengurangi hoaks penting untuk menjaga demokrasi Indonesia. “Indonesia adalah negara demokrasi yang berari mendukung state bukan menjilat penguasa. Indonesia bukan voters-cracy, tapi demokrasi. Tugas utamanya adalah demos sehingga harus solid.” tegasnya.
Setelahnya, tamu undangan dari UKDW, MUI, Muhammadiyah, KPU, serta Bawaslu saling menanggapi argumen masing-masing.
Sarasehan Kebangsaan merupakan upaya untuk menyatukan masyarakat dalam melawan kabar bohong dan distorsi informasi. Hal ini juga sejalan dengan sambutan Dekan Fisipol Erwan Agus Purwanto bahwa demokrasi yang tercipta dua dekade yang lalu merupakan sesuatu yang tidak given, maka jangan sampai terjadi distorsi agar nantinya demokrasi bukan hanya hiruk pikuk. (/Afn)