Inovasi Munculnya Desa Cerdas 4.0, Kementrian Desa: “Desa Bukan Lagi Daerah Tertinggal”

Yogyakarta, 23 April 2019 – Bekerjasama dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (PDTT ) serta Institute of Goverment and Public Affairs (IGPA), CfDS melaksanakan peluncuran dan bedah buku bertajuk “Desa Cerdas: Transformasi Kebijakan dan Pembangunan Desa Merespon Era Revolusi Industry 4.0”. Selasa (23/4) di Auditorium Gedung Mandiri Lantai 4 Fisipol UGM, acara ini dihadiri oleh empat tokoh inovatif.

Peluncuran dibuka oleh sambutan Erwan Agus Purwanto selaku Dekan Fisipol UGM. Baginya, kemunculan digital society di segala aspek yang terkoneksi dengan Internet of Things merupakan bentuk transformasi teknologi. Dalam hal ini, desa tidak bisa ikut tertinggal. Adanya desa cerdas merupakan bentuk kontribusi fenomena pengembangan yang berhasil.

Keynote speech dibawakan oleh Anwar Sanusi, Sekjen Kementrerian Desa PDDT, yang juga alumni Ilmu Pemerintahan Fisipol angkatan 1988 mengatakan, “Sejak UU No.6 2014, terjadi perubahan besar dimana desa yang semula identik dengan kemunduran dan menghasilkan urbanisasi, sekarang tumbuh dan menghasilkan desa membangun”.

Setelah lima tahun dijalankan, ada transformasi signifikan dari pedesaan di Indonesia. Perubahan paradigma dari desa lama yakni sebagai objek pembangunan, menjadi desa baru sebagai subyek pembangunan partisipatoris.

Kepala Desa Ponggok, Junaedi Mulyono yang dikenal sebagai penggagas Desa Wisata pun menekankan “Data dan profil desa merupakan kunci utama dalam perkembangan, hingga SDM dan pemudanya dijadikan peran penting pembangunan. Kami menampung aspirasi dan ide-ide yang berkembang sehingga pemuda yang setelah lulus kembali membangun desanya, tidak semata pergi ke kota karena kota,” ujarnya.  Junaedi Mulyono telah dikenal sebagai tokoh kepala desa yang inovatif di Indonesia, wisata potensial di Ponggok ia maksimalkan sedemikian rupa, salah satunya adalah wisata air Umbul Ponggok.

Bahrun Wardoyo, Kepala Desa Dlinggo pada periode 2012-2016, menceritakan bahwa dulu Desa Dlinggo dikenal sebagai desa paling tertinggal di Bantul. Keadaan ia ubah dengan peningkatan etos para pamong yang seharusnya bangga akan pekerjaannya.

Dalam mengembangkan desa melalui teknologi, ia menggunakan tekonologi SIG (Sistem Informasi Geografi). Bahrun juga berpesan agar mahasiswa terus berkontribusi dalam desa, “Gunakanlah KKN sebagai bentuk kontribusi pembangunan desa, kalau bisa keluar Pulau Jawa agar seluruh desa di Indonesia juga ikut berkembang,” ujarnya.

Dari perpektif akademisi, Arie Sudjito sebagai Dosen Departemen Sosiologi, menyatakan bahwa Desa Wisata 4.0 memiliki arti dua hal, sebagai instrumentalisasi dan aktualisasi ide. Ia mengapresiasi pembuatan buku Desa Cerdas sebagai bentuk pembangun peradaban.

Ia juga memerhatikan adanya peningkatan perhatian pada desa di kalangan mahasiswa, dengan banyak diangkatnya desa menjadi topik skripsi. Mengenai penerapan teknologi, Arie berpendapat, “Setiap desa memiliiki keunikan masing-masing, teknologi dapat bertransformasi dan menyusuaikan keunikan masing-masing desa di Indonesia yang jumlahnya pulahan ribu,” ujar Arie.

Peluncuran buku diresmikan oleh para kontributor penulisan, dan diapresiasi sebagai acuan desa-desa di Indonesia yang hampir berjumlah 72.000 untuk berkembang. Peluncuran buku ini pun dapat diakses secara umum melalui e-book, bagi yang ingin mengunduh dapat mengakses http://literasidigital.id/books/buku-desa-cerdas/ secara gratis. (/Afn)