Yogyakarta, 26 April 2019—“Pelaksanaan pemilu serentak dengan sistem yang seperti ini harus menjadi yang pertama dan terakhir,” demikian ujar Pramono Ubaid Tanthowi, Komisioner KPU RI, dalam merefleksikan perubahan sistem Pemilu 2019.Pemilu serentak kali ini telah membawa banyak perubahan secara fisik, teknis, dan sistem. Hal ini tentu mengundang perdebatan dalam masyarakat. Menanggapi hal tersebut, Fisipol UGM dan beberapa instansi terkait duduk bersama dalam Sarasehan Refleksi Pemilu 2019 untuk membahas sistem Pemilu 2019 dan pengaplikasiannya. Sarasehan ini dihadiri oleh Pramono Ubaid Tanthowi, Komisioner KPU RI, sebagai pemantik diskusi.
Bahwasannya Pemilu serentak kali ini secara fisik telah melampaui batas kemampuan tubuh manusia pada umumnya, secara teknis telah melampaui kapasitas KPU dalam mempersiapkan logistik dan melayani pemilih. Selain itu, secara sistem juga membuat pemilih kesulitan menentukan pilihan, terutama calon anggota DPD, DPR dan DPRD.
Menurut Pramono, hal ini dikarenakan regulasi yang mengatur pelaksanaan pemilu. Regulasi yang dimaksud di antaranya adalah UU 7/2017 dan putusan MK No. 14/PUU-IX/2013 yang di mana keduanya mengatur tentang pemilu serentak.
“Serentak yang dimaksudkan dalam kedua regulasi tersebut yaitu, tersedia lima surat suara, kampanye serentak, desain surat suara yang seragam, dan diselesikan di hari yang sama,” kata Pramono.
Sistem yang seperti ini kemudian berimplikasi pada bertambahnya waktu yang dikorbankan untuk menyelesaikan proses pemungutan dan perhitungan suara yang selanjutnya tidak dapat dikerjakan secara maksimal akibat banyaknya petugas yang tidak sanggup secara fisik. “Adanya perpanjangan waktu bagi pengurus formulir A5 menjadi 7 hari sebelum hari H juga berimplikasi pada sulitnya petugas KPU dalam memenuhi ketersediaan surat suara dan implikasi berikutnya yaitu tidak terlayaninya pemilih A5 dikarenakan kurangnya surat suara di TPS,” papar Pramono.
Selain problem teknis dan sistem pelaksanaan Pemilu, juga terdapat problem lain yang muncul yaitu mengenai produksi hoax yang menyasar KPU. Hoax yang muncul terbentuk menjadi dua yaitu berupa disinformasi dan fitnah.
Dari keseluruhan pemaparannya, Pramono kemudian menawarkan empat jalan keluar dalam meminimalisi dampak – dampak negatif yang terjadi seperti pemilu sekarang ini. “Terdapat beberapa jalan keluar yang dapat kami kerjakan nanti, yaitu memisahkan pemilu nasional dengan pemilu lokal yang berimplikasi pada minimnya jumlah surat suara yang tercoblos dalam satu hari, mengurangi waktu yang diperlukan pemilih waktu mencoblos di TPS dengan mengadopsi sistem proporsional daftar tertutup. Juga akan menurunkan Presidential Threshold sehingga memungkinkan munculnya calon pasangan yang lebih banyak, dan terakhir menerapkan sistem e-rekapitulasi,” kata Pramono.
Paparan Pramono mengenai problem pelaksanaan pemilu kemudian ditanggapi oleh Ari Dwipayana, Staff Khusus Bidang Politik Pemerintahan Jokowi, Kuskridho Ambardi, Dosen Ilmu Komunikasi Fisipol UGM, Wawan Mas’udi, Wakil Dekan Fisipol UGM, Mada Sukmajati, Dosen DPP Fisipol UGM, Arie Sujito, Dosen Sosiologi FISIPOL UGM, dan Abdul Gaffar Karim, Dosen DPP FISIPOL UGM.
Refleksi sistem pelaksanaan pemilu 2019 dikupas lebih tajam oleh Mada Sukmajati dan Kuskridho Ambardi. Keduanya sepakat bahwa mengganti sistem pemilu serentak dengan memisahkan pemilu nasional dan lokal bukanlah suatu keputusan yang tepat.
“Refleksi dan evaluasi memang sangat diperlukan, namun yang perlu dipertanyakan adalah pada tingkatan mana sebenarnya refleksi ini seharusnya dilakukan? Karena tidak sepenuhnya sistem pemilu saja yang membawa problem,” kata Mada.
Menurut Kuskridho, pelaksanaan pemilu serentak sejatinya membawa pengaruh yang positif bagi pemilih. “Dengan sistem pemilu serentak seperti ini justru mencerdaskan pemilih, mereka dituntut untuk belajar dan mengenali calon yang akan dipilihnya nanti,” kata Kuskridho.
Beralih ke isu pelaksanaan Pemilu, Ari Sujito dan Ari Dwipayana membahas pemilu secara sosiologis. Bagi dirinya, publik yang menyalahkan teknis dan sistem pelaksanaan pemilu adalah sebuah akibat dari minimnya ruang publik yang tersedia dalam mengenali track record calon pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPRD, dan DPD.
“Minimnya ruang pemilih dalam mengenal para calon kemudian mendorong mereka menyalahkan sistem dan teknis yang rumit itu. Solusinya adalah KPU harus memberikan ruang publik untuk civic education, ini bertujuan untuk mengajak pemilih menilai track record para calon,” kata Ari Sujito
Ari Dwipayana pun memberikan tanggapan mengenai munculnya distrust di masyarakat akibat dari kompleksitas teknis dan sistem pelaksanaan pemilu. “Munculnya distrust di masyarakat ini sebagai bentuk tanggapan dari rumitnya teknis dan sistem pemilu. Hal ini menunjukkan bahwa saat ini technically sama dengan politically. Di mana teknis pelaksanaan pemilu merupakan satu bagian dari kepentingan politik atau sebuah bentuk praktik politik,” kata Ari Dwipayana.
Terakhir, Wawan Mas’udi menyoroti social acceptance pemilu. Bagian penting dalam pelaksanaan pemilu bukanlah hanya sistem dan teknis pelaksanaannya saja, melainkan juga bagaimana hasil dari pemilu tersebut dapat diterima di masyarakat sebagai hasil yang legitimate.
“Legitimasi merupakan sebuah motor dalam menentukan rule of the game baik sebuah negara ataupun daerah. Maka dari itu, komitmen pemilih dalam memilih para calon menjadi hal yang penting bagi para calon. Hal ini yang menyebabkan meningkatnya produksi hoax, dimana komitmen pemilih kemudian dikonstruksikan dan diciptakan oleh para calon,” kata Wawan.
Sarasehan ini juga turut menghadirkan perwakilan dari KPPS daerah dan Bawaslu untuk memaparkan pelaksanaan pemilu di lapangan. Dilaksanakannya sarasehan ini tentu diharapkan bisa menjadi ruang yang disediakan FISIPOL UGM bagi masyarakat umum untuk memahami situasi dan kondisi politik negara ini dan dapat menjadi ruang diskusi antara elit, akademisi, dan masyarakat. (/Pnm)