Mendekatkan Isu Keadilan Sosial dan HAM pada Masyarakat dengan Festival HAM 2019

Yogyakarta, 30 Oktober 2019—Mendekatkan isu keadilan sosial dan Hak Asasi Manusia pada masyarakat tingkat mikro masih menjadi PR besar bagi pemerintah. Menurut, Arie Sujito Dosen Sosiologi Fisipol UGM, fenomena politik yang terjadi hari ini cenderung tidak karuan, hal ini terlihat dari proses proses politik baik di tingkat mikro sampai makro.

“Politik kita cenderung makin kumuh terlihat dari proses proses election, baik di tingkat mikro sampai makro. Akibatnya, ‘memaksa’ orang untuk semakin apatis,” ujar Arie Sujito. Apatis dalam hal seperti minim kepedulian terhadap kondisi politik, karena bagi masyarakat, khususnya di tingkat mikro, mereka tidak memiliki ruang yang luas untuk bersuara daripada mereka yang ada di tingkat makro.

Isu keadilan sosial dan HAM disini kemudian menjadi perhatian, karena minimnya keadilan bagi masyarakat di tingkat makro dan mengurangi rasa kepemilikan ruang publik yang luas. Padahal prinsip keadilan adalah semua warga negara dalam tingkat manapun dan dalam kondisi apapun, mereka tetap memiliki akses yang sama dalam pelayanan publik.

Mendefinisikan HAM pun juga menjadi persoalan di masyarakat. Pemahaman HAM bagi masyarakat masih terlalu luas, sehingga mereka tidak memiliki kepekaan yang kuat terhadap tindakan pelanggaran HAM di tingkat mikro. “Masyarakat memahami HAM itu dengan isu isu besar, seperti kekerasan. Padahal kesulitan kesulitan yang mereka alami dalam mengakses pelayanan publik itu juga merupakan pelanggaran HAM,” ujar Arie Sujito

Peranan kebudayaan kemudian dibutuhkan disini. Kebudayaan dipahami sebagai apa yang orang orang pahami sebagai kebiasaan mereka sehari hari. “Kebudayaan digunakan sebagai alternatif, terobosan baru untuk mendekatkan isu keadilan sosial dan HAM pada masyarakat di tingkat mikro,” ujar Arie Sujito

Dalam perspektif yang lebih luas, kebudayaan adalah pengetahuan, maka memasukkan HAM dan keadilan sosial dalam kebudayaan itu sangat penting. Ketika HAM dan keadilan sosial sudah dipahami sebagai isu yang dekat dengan masyarakat, itu artinya peran kebudayaan dalam mendekatkan HAM dan keadilan sosial pada masyarakat sudah terealisasi, karena akan melekat pada keseharian.

Pembangunan saat ini cenderung mengikuti revolusi 4.0. Artinya, pembangunan isnfrastrukur tidak lagi hanya berbentuk fisik, tetapi juga digital. Hal ini ditandai dengan semakin banyaknya platform digital sebagai wujud infrastruktur dalam digital society. Ini membuat batas-batas keadilan sosial dan HAM juga semakin luas dan ruang ruang digital tersebut kemudian menjadi “ruang baru” bagi tindak pelanggaran keadilan sosial dan HAM.

Menanggapi fenomena krisis pengetahuan keadilan sosial dan HAM pada masyarakat tingkat mikro. INFID (International NGO Forum on Indonesian Development) mengadakan festival HAM 2019 yang akan diselenggarakan pada tanggal 19 sampai 21 November 2019 di Kabupaten Jember, Jawa Timur.

Mugiyanto selaku Senior Program Officer INFID menjelaskan bahwa festival HAM ini dilakukan di daerah dengan tujuan untuk membawa isu HAM dan keadilan ke ranah yang paling kecil dengan pendekatan kebudayaan. Kabupaten/Kota yang menjadi tuan rumah festival mendapat julukan Kabupaten/Kota HAM atau Human Right City.

“Kami tidak hanya membawa isu HAM dan keadilan sosial ke ranah yang paling kecil saja, tetapi sebagai NGO, kami juga melakukan asistensi dan monitoring pada kabupaten/kota HAM,” kata Mugiyanto. Praktiknya, INFID juga memperkenalkan pada Human Right City bahwa HAM itu simple. Contoh paling simpel adalah dengan membangun pelayanan publik yang ramah disabilitas. Targetnya adalah mengajak kepala daerah menjadi yang terbaik dalam memahami dan menangani isu HAM.

Diskusi diatas menjadi topik dalam Talkshow Festival HAM 2019 yang diselenggarakan pada Rabu (30/10) di Ruang Seminar Timur, Fisipol UGM. Talkshow ini merupakan salah satu rangkaian dari festival HAM 2019. Dalam penyelenggaran talkshow ini INFID bekerja sama dengan Departemen Sosiologi UGM, dan IRE (Institute of Research and Empowerment). Sebagai penutup, Arie Sujit mengungkapkan “Kita semua harus mengakhiri pemikiran tentang HAM hanyalah sebuah praktik kekerasan, tetapi juga pelayanan publik,” (/pnm)