Refleksi Gerakan Reformasi Dikorupsi: Dimana Peran Negara Dalam Menegakkan HAM?

Yogyakarta, 20 November  2019—Gerakan Perlawanan Reformasi Dikorupsi yang berlangsung pada September silam, kembali direfleksikan melalui Diskusi Kolaboratif yand diadakan oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) Chapter UGM dengan Amnesty International  Indonesia pada Rabu silam di Auditorium Lt.4 BB Fisipol UGM.

Diskusi kolaboratif tersebut hadir sebagai wadah untuk merefleksikan gerakan perlawanan yang dimulai di Yogyakarta pada tanggal 23 September 2019 dan menjalar ke berbagai wilayah Indonesia. Adanya keresahan bersama atas RUU yang sedang dibahas di Senayan, menjadi latar belakang aksi yang ternyata juga menimbulkan masalah seperti adanya korban tewas dan penahanan aktivis yang tidak sesuai dengan prosedur hukum.

Obed Kresna, Presiden Mahasiswa BEM KM UGM 2018 yang merupakan salah satu penggagas aksi #GejayanMemanggil menjadi pembicara pertama yang berbagi cerita tentang aksi damai September lalu. “Kesepakatan skenario aksi dipilih sebagai aksi yang damai, partisipatif, artikulatif dan jelas substansinya. Gejayan dipilih karena tempatnya yang strategis dalam aspek ekonomi dan sosial. Berbeda halnya ketika aksi di Tugu ataupun di 0 km yang didominasi oleh wisatawan. Lokasinya juga menghubungkan kampus-kampus di Jogja,“ ujar Obed.

Melalui perizinan dengan pihak kepolisisan dan kulo nuwun dengan RT, RW dan warga sekitar tempat aksi, membuat masyarakat tidak mendapatkan penolakan dan justru mendukung aksi tersebut. Koordinasi dengan kepolisisan juga menjadikan aksi nihil akan pagar berduri, water cannon, serta gas air mata.

Selanjutnya, Muhammad Hikari Ersada, Menko Bidang Pengetahuan dan Pergerakan BEM KM UGM 2018 yang juga menjadi penggagas aksi #GejayanMemanggil, menekankan pentingnya HAM bagi gerakan mahasiswa saat ini. “Menjadi pertanyaan besar apakah HAM ingin ditegakkan dengan sebenar-benarnya ataukah hanya sebagai pembentukan citra Indonesia. Poin-poin tuntutan malah tidak di-highlight oleh media tapi justru aksi nirkekerasan yang berlangsung yang menjadi perhatian,” ujar Hikari.

Pembicara ketiga, Papang Hidayat dari Amnesty Internasional Indonesia mengatakan,, aksi #GejayanMemanggil membuktikan aksi dapat dilakukan secara damai. “Peraturan Kapolri sudah ada sesuai dengan konvensi internasional dalam use of force. Kewajiban positif polisi adalah wajib memfasilitasi unjuk rasa damai tersebut, salah satunya dengan sosialisasi ke masyarakat sekitar,” ujar Papang.

Terakhir, Yunizar Adiputera selaku Dosen Hubungan Internasional Fisipol UGM mengungkapkan kritik terhadap janggalnya pemerintah Indonesia dalam merespon isu HAM. Sebagaimana diketahui, Indonesia telah terpilih menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB untuk periode 2019-2020, bersama Jerman, Afrik​a Selatan, Belgia dan Republik Dominika. yang akan memulai masa tugasnya pada tanggal 1 Januari 2019 hingga 31 Desember 2020 mendatang.

“Ada disconnect antara apa yang disampaikan dan diproyeksikan ke luar negeri dengan situasi HAM dalam negeri, hal ini ditandai adanya ketidaksinkronan antara Kemenlu dengan lembaga lainnya padahal keduanya tidak bisa dipisahkan. Bagaimana bisa mempunyai kredibilitas kalau di luar dengan yang di dalam mempunyai kebijakan yang berlawanan? Seperti adanya perbedaan dimensi politik antara keduanya. Rezim yang berkuasa menjadikan Kemlu seolah-olah sebagai PR (public relation) agent,” tutur Yudi.

Di penghujung acara, moderator merefleksikan diskusi kali ini.  “Indonesia seharusnya patut berbangga atas HAM sebagai alat untuk pembentukan citra positif, walaupun Indonesia masih memiliki pekerjaan rumah yang menumpuk mengenai HAM, kita semua memiliki peran untuk berefleksi secara berkala ditambah masih ada tanggung jawab sampai 2022 sebagai anggota UNHRC,” ujar moderator menutup diskusi. (/Afn)