Yogyakarta, 6 November 2019—Institute of International Studies (IIS) UGM menggelar konferensi internasional pertamanya, “Go South 2019 Annual Convention on the Global South”. Bertajuk “Rethinking International Relations in the Era of Technological Disruption”, konferensi ini berlangsung selama 2 hari, 5-6 November 2019. Para peserta mengikuti rangkaian sesi panel yang bertempat di Gedung Pusat UGM.
Selain mendatangkan pembicara dari berbagai institusi eksternal seperti Ashok Acharya dari University of Delhi, Nanang Chalid dari Tokopedia, Shita Laksmi dari Diplo Foundation, dll., konferensi ini juga mengundang Mohtar Mas’oed, dosen Hubungan Internasional UGM, sebagai pembicara. Pada sesinya yang berjudul Global South Perspective on the Industry 4.0, Mohtar bercerita mengenai tantangan yang dihadapi oleh negara-negara selatan karena teknologi melalui perspektif Indonesia.
“Teknologi itu ibarat pisau bermata dua, dia bisa menjadi baik tapi juga bisa menjadi buruk,” kata Mohtar. Mohtar memulai pembahasannya dengan menjabarkan definisi teknologi. Mohtar mengutip, teknologi merupakan sebentuk pengetahuan yang digunakan untuk memenuhi suatu tujuan manusia yang spesifik dalam cara yang dapat digandakan.
Diselingi dengan gelak tawa dari peserta karena pembawaannya yang lucu, Mohtar mengatakan bahwa teknologi adalah ilmu pengetahuan, bukan artefak. Menurut Mohtar, revolusi industri 4.0 atau 4IR merupakan solusi neoliberal dari krisis produksi kapitalis yang sudah bertahan sejak 1990. Penggunaan teknologi dalam proses produksi juga dapat membantu melawan perubahan iklim.
Tetapi, negara-negara selatan masih tertinggal akibat konsekuensi politik, ekonomi, dan sosial dari cepatnya perkembangan ketidaksetaraan global. Manfaat dari teknologi cenderung masih terkonsentrasi secara geografis pada negara-negara di utara. “Kebanyakan negara di wilayah selatan masih menggunakan teknologi yang sudah usAng seperti yang digunakan pada sektor garmen dan pertanian,” kata Mohtar.
Hal ini dikarenakan negara seperti Indonesia masih menghadapi berbagai masalah dan tantangan yang serius dan berlipat ganda dalam hal pengembangan negara. Indonesia masih kesulitan dalam usaha untuk menghapus kemiskinan, mencapai pengembangan berkelanjutan, dan partisipasi dalam peningkatkan pasar global.
“Salah satu penyebabnya ditemukan karena limitasi struktural dengan adanya kesenjangan antara negara seperti Indonesia dan negara lain yang lebih maju dalam bidang sains, teknologi, dan inovasi (STI),” kata Mohtar. Kesenjangan ini disebabkan oleh banyak faktor. Salah satu faktornya adalah pengembangan STI yang membutuhkan investasi tingkat tinggi dan individu dengan tingkat edukasi yang tinggi dan kemampuan yang mumpuni.
Menurut Mohtar, terdapat 2 hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kemajuan STI. Pertama yaitu menggunakan teknologi dari luar negeri untuk membangun basis industri sebelum menciptakan sendiri terobosan ilmiah dan teknologi. Kedua adalah dibutuhkannya tenaga kerja terdidik dan terampil untuk mendukung kemajuan STI. Dalam pengembangan dan untuk mengurangi kesenjangan global, Mohtar mengatakan dibutuhkan kerja sama antara negara-negara di selatan. Kerja sama yang dimulai pada Konferensi Bandung 1955 ini membawa semangat solidaritas.
Mohtar menjelaskan kerja sama ini sebagai sebuah strategi yang bertujuan untuk memberdayakan dan meningkatkan kualitas dari masyarakat negara-negara berkembang dengan saling menghormati untuk mempengaruhi agenda pengembangan.
“Kita harus berpikir bahwa teknologi merupakan hal sosial yang dapat berdampak pada hidup kita. Memang teknolgi itu ibarat pisau bermata dua, kita harus berhati-hati bagian mana yang ingin kita gunakan. Maka dari itu kita membutuhkan individu dan sumber daya manusia yang berkembang lebih baik dan baik lagi,” kata Mohtar. (/hsn).