
Yogyakarta, 2 Mei 2020—Tepat di Hari Pendidikan Nasional, Keluarga Mahasiswa Manajemen dan Kebijakan Publik (Gamapi) Fisipol UGM mengadakan kegiatan Ngabuburit Talks. Kegiatan tersebut dilaksanakan melalui platform Webex meeting dengan mengundang dua pembicara. Keduanya yaitu Prof. Dr. Wahyudi Kumorotomo, MPP, Guru Besar Kebijakan Publik Fisipol UGM, dan Prof. Dr. Dra. Sulistyawati Irianto, MA, yang merupakan Guru Besar Antropologi Hukum FH Universitas Indonesia. Diikuti oleh kurang lebih 100 partisipan, diskusi sore itu juga dihadiri oleh Prof Agus Pramono, Komisioner ASN, Prof Erwan Agus Purwanto, Dekan Fisipol UGM, dan beberapa dosen dari fisipol UGM maupun universitas lain.
Dengan dipandu oleh Ruth Manullang, diskusi dimulai tepat pukul 16.00. Diskusi diawali oleh pemaparan Sulistyawati terkait refleksi hukum-kultural terhadap wabah Covid-19 yang sedang dihadapi. Dalam pengantarnya, Sulistyawati menyampaikan bahwa studi hukum-kultural dapat menjadi salah satu pendekatan yang bisa dipakai untuk menganalisis pandemi ini. Hal tersebut dikarenakan, pandemi Covid-19 ini dapat menyebabkan terbentuknya budaya atau kebiasaan baru dalam masyarakat. “Pandemi telah mengubah cara orang berpikir, berpengetahuan, pola hidup dan nilai dalam berkomunikasi,” jelas Sulistyawati.
Lebih lanjut, Sulistyawati memaparkan bagaimana munculnya kesadaran kolektif di tengah-tengah masyarakat. “Semua orang memproduksi dan mendistribusikan rasa takut, cemas, gelisah, tidak pasti, sakit, dan susah,” terangnya. Pada kondisi tingkat individual yang terjadi secara global tersebut, kemudian menimbulkan kesadaran kolektif untuk melindungi secara bersama-sama. Hal tersebut dapat dilihat dalam berbagai gerakan penggalangan dana, bantuan APD ke berbagai rumah sakit, dan juga upaya self regulation yang dilakukan oleh kelompok RT RW.
Senada dengan hal tersebut, Kumorotomo juga mendukung perlunya penguatan civil society dan solidaritas sebagai upaya pemulihan. Menurutnya, meskipun semua prediksi terkait pandemi cenderung buruk, akan tetapi solidaritas dan kesetiakawanan harus tetap dipertahankan. “Kekuatan civil society yang akan menentukan bangsa Indonesia bisa mengatasi kesulitan yang masif,” jelasnya.
Lebih lanjut lagi, Sulistyawati menyampaikan upaya untuk mengentaskan kemiskinan dari perspektif hukum, yaitu salah satunya melalui akses keadilan. Dalam hal ini ia memaparkan empat pilar keadilan yang penting untuk dipenuhi. Pertama, pentingnya suatu kebijakan atau reformasi hukum untuk mendukung dan memperhatikan orang-orang yang rentan atau termarginalkan. Hal tersebut mengacu pada upaya untuk mengakomodai realitas yang ada terkait apa yang sedang dialami dan kebutuhan yang diperlukan.
“Sehingga, kebijakan harus mampu mengidentifikasi kelompok mana yang paling butuh bantuan,”jelasnya. Kedua, yaitu pentingnya akses terhadap literasi hukum yang membuat masyarakat paham terkait apa saja hak dasar dan hak hidup yang dijamin oleh pemerintah. Sehingga, masyarakat memiliki keberdataan untuk menuntut hak-hak tersebut, salah satunya hak atas akses kesehatan. Ketiga, akses terhadap indentitas hukum seperti KTM dan hal administratif lainnya. Seringkali bantuan dilekatkan pada identitas semacam itu. Padahal, menurut Sulistyawati, masih banyak orang miskin yang tidak memiliki KTP. Sehingga perlu adanya perbaikan pada pemenuhan identitas hukum yang merata. Keempat, akses terhadap bantuan hukum khususnya pada kelompok perempuan dan kelompok rentan lainnya.
Selanjutnya, Kumorotomo memaparkan pandangannya terkait bagaimana mengawal implementasi kebijakan dalam rangka penanggulangan Covid-19. Menurutnya, memang terdapat keterlambatan dalam penanganan Covid-19 di Indonesia. “Sebenarnya kita punya waktu untuk mempersiapkan sejak pemerintah China mengumumkan wabah ini, tapi itu tidak dimanfaatkan dengan baik,” tutur Kumorotomo. Sehingga, kemudian langkah penting menurutnya adalah melakukan monitoring dalam implementasi kedaruratan yang ada.
Menjelaskan persoalan tersebut, ia merujuk pada kebijakan strategis Perpu No.1/2020 yang memaparkan terkait tiga persoalan yang menjadi fokus pemerintah. Ketiganya yaitu soal gangguan kesehatan dan ancaman jiwa, gangguan aktivitas sosial ekonomi, dan juga gangguan sektor riil dan peningkatan risiko di sektor keuangan. Kemudian, satuan anggaran yang dialokasikan pemerintah dalam stimulus APBN 2020 dijelaskan Kumorotomo sebagai bentuk implementasi dari ketiga sektor tersebut. Lebih detail lagi, Kumorotomo memaparkan nilai alokasi belanja tambahan APBN 2020 yaitu sebesar Rp 405,1 triliun yang sebagian besar digunakan untuk pemulihan sektor ekonomi, yaitu Rp 150 triliun.
Namun, di sisi lain Kumorotomo juga menyampaikan terkait adanya distrust dari masyarakat. Hal ini sangat erat kaitannya dengan beberapa konflik kepentingan yang muncul. Beberapa konflik kepentingan tersebut dicontohkah Kumorotomo, pertama dalam kasus adanya anggota DPRD yang meminta rapid-test sebelum tenaga medis. Kemudian adanya pengusaha yang tetap mengekspor alat kesehatan melalui kolusi dengan pejabat Kemenkes dan Kemendag. Kedua, perbedaan data positif antara pemerintah pusat dan daerah yang menunjukkan kurangnya koordinasi kebijakan. Selain itu mundurnya dua staff khusus presiden yang sangat erat kaitannya dengan konflik kepentingan. Juga munculnya kriminalisasi pada Ravio Patra, pegiat sosial yang mengkritik data Covid-19, hingga intimidasi terhadap anggota dapur umum Solidaritas Pangan Jogja.
Sehingga, dengan berbagai konflik kepentingan yang memunculkan distrust tersebut, Kumorotomo menyampaikan pentingnya monitoring dan ketaatan pada kebijakan. Menurutnya, monitoring ini juga harus dilakukan secara terpadu dan melibatkan pertimbangan semua aspek. Karena, menurut Kumorotomo, selama ini pengawasan dan akuntabilitas dana stimulus cenderung masih lemah. Sehingga sangat diperlukan partisipasi publik di dalamnya. “Karena jumlah dana yang besar tanpa akuntabilitas akan menjadi persoalan baru,” pungkasnya. (/Ann)