Yogyakarta, 9 Juni 2020—Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada menyelenggarakan sesi pertama dari Serial Diskusi FISIPOL UGM yang bekerja sama dengan Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan. Bertajuk “Problematika Kartu Prakerja: Menuju Kebijakan Kartu Prakerja yang Inklusif”, diskusi ini menghadirkan tiga pembicara yaitu perwakilan dari Serikat Buruh Sejahtera Indonesia Korwil Daerah Istimewa Yogyakarta, perwakilan dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia, dan dosen Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan FISIPOL UGM. Diskusi yang diadakan melalui platform Webex ini juga dimoderatori oleh dosen Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, Rezaldi Alief P.
Ruangan diskusi Webex dibuka sekitar pukul 10.00 WIB. Pukul 10.15 WIB, moderator membuka diskusi dengan sedikit menjelaskan topik yang akan dibahas dalam diskusi ini. Untuk memulai sesi pemaparan materi, moderator bertanya pada perwakilan dari Serikat Buruh Sejahtera Indonesia Korwil Daerah Istimewa Yogyakarta, Bapak Dani Eko Wiyono, mengenai kebijakan kartu prakerja secara umum.
Menurut Pak Dani, kebijakan kartu prakerja dimulai atas niat yang baik. Namun, hingga saat ini, mekanisme dan pelaksanaan dari kebijakan ini masih tidak jelas. Ketidakjelasan ini mencakup banyak aspek, mulai dari kriteria orang yang berhasil mendapatkan bantuan hingga dana yang diterima tidak dapat digunakan. Pak Dani bercerita, bahwa ada kasus peserta yang berhasil lolos seleksi, namun keesokan harinya, status kelolosan tersebut berubah. Pun benar-benar lolos, ada lagi kasus yang mana pengiriman dana prakerja ini memakan waktu yang lama. Ketika dana tersebut sudah diterima, justru tidak bisa digunakan sesuai ketentuan. Koordinasi antar kementerian, terutama Kementerian Ketenagakerjaan dan Kementerian Keuangan, dalam menjalankan kebijakan ini pun dirasa masih kurang.
Kebijakan prakerja yang penerapannya dipercepat sebab terjadi pandemi COVID-19, justru dianggap tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat saat ini. Selain itu, Pak Dani menjelaskan, kebijakan prakerja juga terlihat memiliki hubungan dengan Omnibus Law, yang mana kartu prakerja hanya menjadi pemanis saja. Kondisi pandemi COVID-19 menjadi trigger untuk melaksanakan kebijakan prakerja, yang kemudian jika sudah terlaksana dalam jumlah banyak, akan mengarah ke kebijakan Omnibus Law.
“Untuk itu, pelaksanaan kebijakan kartu prakerja harus diperbaiki jika ingin menjadi langkah nyata untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kebijakan kartu prakerja seharusnya dapat membantu meningkatkan pendapatan masyarakat, membantu meningkatkan skill, serta menjadi upaya pembiasaan penggunaan teknologi daring bagi masyarakat,” jelas Pak Dani. Serikat Buruh Sejahtera DIY juga membuka posko pengaduan dan permohonan prakerja sebagai bentuk advokasi bagi para pekerja yang belum terlalu mengerti penggunaan IT.
Pak Iswan Abdullah, perwakilan dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia, juga memiliki pandangan yang serupa seperti Pak Dani terkait kebijakan kartu prakerja. Menurut Pak Iswan, kebijakan prakerja akan secara efektif memberikan manfaat jika pelaksanaannya benar-benar tepat sasaran dan dilaksanakan pada waktu yang tepat. Dengan anggaran program yang sangat besar, rasanya sangat sayang jika dialokasikan hanya untuk pelatihan daring. Oleh sebab itu, menurut Pak Iswan, yang perlu dipermasalahkan di sini bukanlah ide dari pencetusan kebijakan prakerja, tetapi lebih pada program yang dirancang, yaitu pelatihan daringnya.
Ada beberapa hal yang seharusnya dilakukan pemerintah terkait ketenagakerjaan saat ini, terutama di tengah kondisi pandemi seperti ini. Pada situasi darurat PHK seperti sekarang, pemerintah seharusnya lebih fokus dalam mencegah terjadinya PHK. Selain itu, anggaran kebijakan prakerja yang begitu besar seharusnya dapat dialokasikan untuk pemberian bantuan langsung tunai agar dapat mempertahankan daya beli masyarakat di tengah situasi pandemi saat ini. Terutama mengingat bahwa tidak semua masyarakat memiliki akses internet yang memadai untuk mengakses pelatihan daring.
Anggaran prakerja juga lebih baik dialokasikan untuk mengevaluasi kurikulum di perguruan tinggi dan SMA, serta untuk revitalisasi BLK. Hal ini, menurut Pak Iswan, lebih efektif dalam memastikan “link-and-match” antara calon tenaga kerja dengan kebutuhan pasar kerja dibandingkan dengan pelatihan daring yang diusung kebijakan prakerja saat ini. Kalau pun tetap ingin memberikan pelatihan daring, seharusnya pelatihan tersebut disediakan secara gratis, sehingga semua orang dapat mengaksesnya.
Pembicara ketiga yang merupakan akademisi—dosen Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan FISIPOL UGM, Bapak Hempri Suyatna, juga memiliki pandangan yang serupa. Kebijakan prakerja pada awalnya dirancang untuk konteks umum, bukan untuk mengatasi permasalahan ketenagakerjaan di situasi pandemi COVID-19. Oleh sebab itu, banyak poin-poin yang tidak sesuai dengan kebutuhan saat ini.
Terdapat sembilan problematika dari kebijakan prakerja, yang secara garis besar mencakup masalah materi dan model pelatihan yang tidak sesuai kebutuhan dan dipertanyakan keberlanjutannya; masalah ketimpangan digital; indikasi adanya ekonomi politik dalam kebijakan; serta masalah sinergisitas kebijakan dengan bantuan sosial lainnya. Untuk itu, Pak Hempri memaparkan beberapa rekomendasi perbaikan untuk kebijakan prakerja, antara lain menggunakan paradigma kebijakan yang inklusif; perbaikan sistem pendaftaran, materi, serta kompetensi bagi para peserta agar sesuai dengan kebutuhan pasar kerja; mendefinisikan ulang penerima manfaat program; bersinergi dengan perusahaan dan industri untuk output tenaga kerja; dan mengintegrasikan kebijakan prakerja dengan program-program pendukung lainnya.
Diskusi diakhiri dengan sesi tanya jawab. Sesi tanya jawab dilakukan dengan cara moderator membacakan pertanyaan yang dituliskan peserta diskusi di kolom komentar Webex dan Youtube. Sesi tanya jawab dilakukan per pembicara, sesuai dengan urutan penyampaian materi—dimulai dari Pak Dani, dilanjut pada Pak Iswan, dan yang terakhir Pak Hempri. Selain pertanyaan, ada juga peserta diskusi yang menyampaikan tanggapannya terkait materi yang disampaikan. Keseluruhan diskusi berlangsung dengan seru. Para pembicara menyampaikan materinya dan menjawab seluruh pertanyaan dengan bersemangat. Diskusi pun berakhir dan resmi ditutup pukul 12.00 WIB. (/hfz)