YouSure Bincang Muda: Pandemi dan Risiko Pekerja Muda

Yogyakarta, 12 Juni 2020 — Youth Studies Centre (YouSure) atau Pusat Kajian Kepemudaan FISIPOL UGM kembali menyelenggarakan program kerja YouSure Bincang Muda yang bertajuk Pandemi dan Risiko Pekerja Muda pada Jumat (12/5). Acara diskusi yang digelar melalui fitur Youtube Live ini menghadirkan dua narasumber, yaitu Titis Larasati (Pekerja muda) dan Dani Eko Wiyono, S.T., M.T. (Ketua K SBSI DIY). Diskusi berlangsung pada pukul 14.30-16.00 WIB dengan dimoderatori oleh Dana Fahadi dari YouSure.

Dalam acara Bincang Muda kali ini, YouSure turut menyumbangkan pikiran terkait organisasi pemerintah dalam mengambil tindakan bagi pekerja yang tergolong rentan karena wabah korona. Sejak WHO mengumumkan status darurat COVID-19, pemerintah pusat hingga pemerintah daerah menerapkan kebijakan pembatasan sosial berskala besar ataupun kecil. Seluruh aktivitas mulai dari ranah akademik sampai kegiatan kemasyarakatan sangat dibatasi, termasuk kegiatan perekonomian. Akibat kebijakan PSBB, banyak perusahaan yang menerapkan sistem WFH (Work from Home), tetapi di sisi lain terdapat pekerjaan yang harus dilakukan di tempat atau secara fisik, seperti ojek, pedagang kaki lima, kios dan sebagainya. Banyak juga pekerja yang diberhentikan atau di-PHK dari pekerjaannya pada sektor tertentu seperti perhotelan, restoran, tempat hiburan, dan lainnya.

Terkait hal tersebut, Titis Larasati yang berstatus sebagai mahasiswa dan pekerja di salah satu sektor pariwisata Yogyakarta turut terdampak oleh adanya pandemi COVID-19. Sebagian besar pegawai di tempat ia bekerja sebelumnya telah dirumahkan sejak akhir Maret dan dibebaskan untuk mencari pekerjaan lain. Titis mengaku respon perusahaan tempat ia bekerja terhadap kebijakan pemerintah sudah sangat tepat dengan pertimbangan menggaji penuh satu bulan setelahnya dan memberikan pesangon meskipun dirumahkan. Ia cukup salut dengan sikap yang dimiliki perusahaan. “Menurut saya itu (sikap perusahaan) sudah sangat memikirkan untuk tahapan selanjutnya bahwa kami itu gak cuma pegawai, kami juga punya keluarga yang harus dibiayai,” ujar Titis.

Sebagai seorang yang bergelut di bidang serikat buruh, Dani Eko berujar bahwa perusahaan yang bersikap dan berjiwa seperti dimana tempat Titis bekerja dapat dihitung jari alias hanya beberapa saja. Sebanyak 38 ribu pekerja yang terdampak di DIY sebagian besar dirumahkan tanpa kejelasan. Banyak perusahaan yang memperalat momen pandemi untuk memberhentikan pegawai tanpa pesangon. Meskipun setiap perusahaan ada pembukuan, namun ratusan perusahaan cenderung hanya mengungkapkan bahwa ia mengalami kerugian atau penurunan income tanpa bukti. Bahkan, banyak pengusaha yang memaksa pegawainya untuk menandatangani surat resign dari perusahaan. “Jadi, kasihan para pekerja muda yang jadi bulan-bulanan ditambah lagi pekerja-pekerja yang tidak tahu tentang undang-undang tenaga kerja, sorry saya katakan bahwa ketidaktahuan itu dimanfaatkan oleh pengusaha-pengusaha yang memang brengsek,” ungkap Dani Eko.

Kondisi yang memang sedang kacau di semua pihak ini menjadi evaluasi bagi pemerintah dan diharapkan dapat diberikan solusi agar semua pihak setidaknya dapat bertahan hidup. Selanjutnya untuk wacana new normal, bahwasanya kita harus hidup berdamai dengan COVID-19, dinilai tidak tepat. New normal layak diterapkan apabila indikasi COVID-19 sudah menurun, namun kenyataanya sampai saat ini grafik perkembangan COVID-19 terus melunjak. Apabila tetap diterapkan, maka harus ada SOP yang ketat di berbagai tempat mengenai protokol kesehatan, termasuk di perusahaan-perusahaan. Padahal, banyak perusahaan yang sudah berjalan kembali tidak pernah menyediakan APD (Alat Pelindung Diri) bagi para pekerja. Malah yang diberikan APD adalah anggota dewan dan pejabat tinggi. (/Wfr)