Nyatanya, akademisi dituntut untuk harus berpindah dari satu tugas ke tugas yg lain, seperti memenuhi ketiga poin tri dharma perguruan tinggi, juga tugas-tugas administratif dan struktural. Dan ternyata, hal ini terjadi tidak hanya di Indonesia, di negara sang penulis buku pun seperti itu. Kondisi ini kemudian memunculkan stres di kalangan akademisi. Ario pun menampilkan hasil riset yang ia temukan mengenai kepuasan kerja dengan stres di kalangan akademisi.
Sayangnya, isu kesehatan mental pada akademisi merupakan suatu permasalahan laten—tidak banyak yang menyadari bahwa ini merupakan isu penting. Pandangan ini muncul karena ada stigma yang melekat bahwa akademisi merupakan kalangan yang rasional. Tuntutan untuk terus rasional itulah yang kemudian menekan kondisi kesehatan mental para akademisi. Buku ini pun menawarkan suatu solusi untuk hal tersebut, yaitu menerapkan slow movement di kalangan akademisi.
Gagasan slow movement ini muncul dari konsep mindfulness. Lebih lanjut, slow movement adalah cara agar individu—dalam konteks ini, akademisi—tidak melakukan semuanya dengan terburu-buru dan menerapkan cultivating emotional dan intellectual resilience. Azizah menambahkan bahwa kunci dari slow movement adalah fleksibilitas, bagaimana akademisi melihat dan mengambil suatu peluang. Jangan sampai karena akademisi menerapkan slow movement, ia justru tidak berkembang.
Tiga bab selanjutnya dalam buku ini—bab dua sampai empat—memberikan petunjuk-petunjuk praktis mengenai bagaimana menerapkan slow movement bagi para akademisi, baik saat proses pembelajaran, riset, bahkan berkolega.
Ario menyampaikan bahwa tidak dapat dipungkiri jika kualitas dari kesehatan mental para akademisi sangat memengaruhi kualitas pembelajaran yang dilakukan. Sehingga, penerapan slow movement oleh para akademisi dalam proses pembelajaran juga dapat meningkatkan kesenangan para mahasiswa.
Namun, menurut Ario, ada beberapa poin dari buku ini yang perlu dikritisi, terutama terkait penekanan buku yang lebih berfokus pada kekuatan agensi dan individu akademisi, tetapi cenderung melupakan kebijakan korporatisasi perguruan tinggi. Korporatisasi perguruan tinggi juga dapat dipahami dengan kondisi pendidikan yang memiliki standar-standar tertentu yang justru membuat akademisi tidak mempunyai keleluasaan di sana. “Ketika kita berada dalam sistem yang menekan kita, terkadang kita tidak memiliki pilihan lain selain mengikuti sistem tersebut,” tambah Azizah.
Diskusi pun berlangsung seru karena banyak akademisi dari berbagai universitas di Indonesia yang hadir. Banyak yang memberikan tanggapan seputar hal-hal yang disampaikan dalam buku, tapi banyak pula yang berbagi pengalamannya sebagai seorang akademisi. Sesekali, beberapa peserta bertanya mengenai pandangan dari Ario dan Azizah terkait isu yang disampaikan dalam buku.
Diskusi Pojok Buku MKP ke depannya akan dilaksanakan secara dwi mingguan atau dua minggu sekali. Bagi yang tertarik untuk menyampaikan gagasannya terkait suatu buku, dapat menghubungi Ario atau menemukan informasi tersebut di akun Instagram resmi Departemen MKP. (/hfz)