Dialektika #2: Nasib Pekerja Informal terhadap Krisis Ekonomi Berkepanjangan

Yogyakarta, 25 Juli 2020 – Dewan Mahasiswa atau DEMA Fisipol UGM bekerja sama dengan Kapstra (Keluarga Mahasiswa Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan) dalam menyelenggarakan Dialektika (Diskusi Aktual Keilmuan DEMA) yang kedua pada Sabtu sore (25/7). Dialektika kali ini turut menghadirkan Vandy Yoga Swara, S.Sos., M.A. dan Rezaldi Alief Pramadha, S.E., M.S.S. selaku dosen PSdK Fisipol UGM, serta Nailul Amany, S.H., M.H. selaku dosen FH UGM dalam mendiskusikan topik yang diangkat, yaitu “Masa Depan Pekerja Informal Pasca Pandemi COVID-19”.

Krisis kesehatan yang menjelma menjadi krisis sosial ekonomi pada tahun 2020 ini mengalami guncangan yang cukup sistematis dan dalam waktu yang cukup lama. Sudah banyak social safety net yang dilakukan oleh negara, mulai dari PKH yang targetnya tidak universal dan cukup selektif, sembako, kartu prakerja, diskon tarif listrik dan sebagainya. Vandy menganggap respon pemerintah terhadap risiko pandemi yang terdistribusi secara universal tidak memberikan social protection ke semua masyarakat, terlebih mereka yang dikategorikan sebagai orang-orang rentan.

Menurut Vandy, berdasarkan UU Ketenagakerjaan nomor 13 tahun 2003, sepertinya negara tidak mengakui adanya pekerja informal karena seolah-olah yang ditetapkan hanya mereka yang memiliki hubungan kerja formal dengan pemberi kerjanya. Social protection menjadi hal yang sangat vital dalam memastikan informal workers untuk survive kedepannya. Maka dari itu, pekerja informal selayaknya diperhatikan sebagai problem agar social protection berpihak kepada mereka, apalagi komposisi kerja sekitar 55% adalah mereka yang dikategorikan sebagai kelompok kerja informal.

Vandy juga menyebutkan bahwa implikasi dari struktur kebijakan dalam konteks pekerja informal mengalami kesulitan, yaitu sektor informal yang tidak homogen sehingga membutuhkan kebijakan yang berbeda pula. “Sektor informal ini tidak homogen sehingga ketika terjadi suatu krisis kesehatan, sosial, atau ekonomi implikasinya pasti berbeda-beda jadi membutuhkan policy solution yang berbeda-beda, termasuk fleksibilitas mereka terhadap pasar,” ungkapnya.

Dalam hal tersebut, Rezaldi menerangkan bahwa pemerintah terlambat mengantisipasi terhadap pekerja formal di sektor digital. Salah satunya, pemerintah dianggap cukup gagap ketika harus mengatur banyaknya pengojek online dan pemerintah masih belum bisa mengatasi permasalahan tersebut karena model hubungan industrial antara pemilik aplikasi dan mitra berbeda dengan hubungan industrial yang selama ini terjadi, seperti pemberi kerja dan pekerjanya.

Kemudian, pemerintah juga lemah dalam penegakan aturan. Misalnya, ketika sentra PKL tumbuh dan dibiarkan saja oleh pemerintah, lalu ketika usahanya semrawut, pemerintah kebingungan kemudian melakukan penggusuran dan solusi yang ditawarkan seringkali penuh polemik karena memicu terjadinya unjuk rasa dan konflik.

“Hal-hal seperti ini yang perlu diperhatikan oleh pemerintah dalam mengatur usaha-usaha di sektor informal, jadi pemerintah harus lebih lincah melihat masa depan itu seperti apa,” tutur Rezaldi. Rezaldi pun memberikan rekomendasi untuk perbaikan kondisi pekerja sektor informal di masa depan, diantaranya adalah perluasan jaminan sosial untuk pekerja sektor informal, asuransi pengangguran, single identity number, transformasi usaha (UMKM naik kelas), dan transformasi digital.

Jika melihat dari sudut pandang hukum mengenai pekerja informal dalam hukum ketenagakerjaan, UU Ketenagakerjaan no.13/2003 saat ini masih bias formal, artinya masih berbasiskan hubungan industrial yang hanya ideal diterapkan dalam lingkup formal. Keberadaan pekerja informal dalam undang-undang tersebut sangat penting untuk dibahas karena setiap perlindungan hukum yang didesain dalam UU menjadi tidak berlaku bagi mereka yang berada di luar hubungan kerja (formal).

Nailul menilai RUU Cipta Kerja yang banyak kelemahan seharusnya adalah kesempatan untuk mengatur hal-hal yang belum diatur atau mengakui bahwa banyak pekerja informal ikut berperan dalam memutar roda ekonomi negara secara makro tetapi justru malah pemerintah merevisi UU Ketenagakerjaan no. 13/2003 dengan ketentuan-ketentuan yang masih diperdebatkan.

Ketentuan tersebut diantaranya RUU Cipta Kerja (dengan paradigma developmentalisme): investasi dan pembangunan ekonomi merupakan hal yang diutamakan, tidak menyelesaikan masalah hiper regulasi, penghapusan batas waktu PKWT (menyerahkan pada kesepakatan para pihak), penghapusan ketentuan mengenai kemungkinan perubahan PKWT menjadi PKWTT, outsourcing masih diperbolehkan, upah minimum hanyalah upah minimum provinsi tanpa kabupaten dan sektoral, istilah ambigu dalam pemberian cuti, PHK dapat dilaksanakan berdasarkan kesepakatan, penghapusan uang penggantungan hak, dan mengurangi perhitungan maksimum uang penghargaan masa kerja. (/Wfr