Yogyakarta, 25 Juli 2020—Departemen Sosiologi bersama Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM mengadakan penutup rangkaian ‘Peace Goers Festival’ yang diselenggarakan pada hari Sabtu silam melalui Zoom. Acara ‘Peace Goers Festival’ yang merupakan penutup dari rangkaian program ‘Menyemai Damai di Kalangan Anak Muda’, bekerjasama dengan empat SMA di Yogyakarta yaitu SMAN 3 & SMAN 5 serta dua SMA di Surakarta yaitu SMAN 3 & SMAN 5.
Muhammad Najib Azca selaku Kepala PSKP UGM sekaligus Dosen Sosiologi Fisipol UGM, memberi sambutan pada acara pagi hari tersebut. “Rangkaian program ‘Menyemai Damai di Kalangan Anak Muda’ kami awali dengan riset lapangan, workshop bersama para ahli dan praktisi perdamaian, dan dilanjuntukan dengan berproses bersama para aktivis muda untuk merancang dan melaksanakan program bina budaya damai di lingkungan sekolahnya masing-masing,” ujar Najib.
Program ‘Menyemai Damai di Kalangan Anak Muda’ yang telah berjalan satu setangah tahun, juga mendapat dukungan dari Kedutaan Besar Kerajaan Belanda. Diwakili oleh Brechtje Klandermans yang turut hadir dalam acara tersebut, Ia menyampaikan dukungannya pada generasi muda Indonesia untuk menyebarkan pesan perdamaian yang nantinya penting untuk menentukan masa depan bangsa.
Setalah sambutan usai, tiga peneliti PSKP yaitu Muhammad Najib Azca, Mohammad Zaki Arrobi dan Mustaghfiroh Rahayu yang ketinganya merupakan Dosen Sosiologi Fisipol UGM pun memaparkan temuan riset yang mereka lakukan dalam Program ‘Menyemai Damai di Kalangan Anak Muda’.
Riset tersebut menekankan pentingnya peer group untuk menyemai perdamaian. Tahapan riset tersebut pun meliputi pemetaan bentuk intoleransi dan potensi budaya damai, pembuatan model sekolah damai, pengimplementasian model sekolah damai, serta melakukan diseminasi model sekolah damai.
“Setelah satu setengah tahun berproses, buku panduan “Sedamai Siswaya” yakni “Sekolah Damai Berbasis Siswa Sebaya” akhirnya selesai. Kami menemukan bahwa ada tiga ruang budaya damai di sekolah yang sudah tumbuh dan harus dipelihara. Ada event ekstrakurikuler, rekayasa kelas lewat pengaturan bangku serta proporsi siswa yang didistribusikan secara beragam, dan terakhir pembelajaran keagamaan dan kewarganegaraan yang mendorong interaksi lintas agama dan etnis,” terang Zaki.
Mustaghfiroh Rahayu juga menyampaikan, model relasi antara siswa, siswa dengan guru dan siswa dan alumni pun turut menentukan iklim damai di sekolah.
Setelah sesi pemaparan riset berakhir, sharing session pun diramaikan oleh Inayah Wahid selaku pendiri gerakan Positive Movement. Ia menceritakan pengalamannya daam melakukan aksi perdamaian. “Sebagai seorang manusia, saya selalu punya pilihan sekecil apa pun bentuknya untuk berempati, membantu orang lain, membagi privilese ke orang yang privilesenya tak sebesar saya. Saya juga punya pilihan untuk membela siapapun yang didiskriminasi dan gak mem-bully orang lain. Lewat pilihan- pilihan kecil itu, kita bisa memberikan kontribusi untuk membuat masyarakat lebih damai,” tutur Inayah.
Pilihan untuk melakukan aksi perdamaian dari hal kecil pun turut disetujui oleh Sabrang ‘Noe’ Letto. “Perbedaan itu harus disyukuri, lewat perbedaan kita bisa punya perpustakaan persektif. Indonesia itu gudangnya perbedaan, PR kita adalah merajutnya jadi kekuatan,” ujar Noe.
Melalui acara “Peace Goers Festival” yang menyajikan proses dan capaian kreatif yang dilakukan oleh para aktivis muda. Harapannya, kegiatan ini bisa menjadi momen refleksi bersama untuk menyuburkan budaya damai di sekolah. (/Afn)