Mengenang 75 Tahun Tragedi Bom Hiroshima dan Nagasaki dalam Pameran Foto Terpandu Virtual “Dari Mata Hibakujumoku” IIS UGM

Yogyakarta, 9 Agustus 2020—Dalam rangka memperingati 75 tahun peristiwa ledakan bom di Hiroshima dan Nagasaki, Institute of International Studies milik Departemen Hubungan Internasional Fisipol UGM mengadakan serangkaian kegiatan bertajuk “The 75th Anniversary of the Atomic Bombing Series”. Pada acara pertamanya dari rangkaian ini, IIS bekerja sama dengan ICRC Indonesia mengadakan sebuah pameran foto terpandu virtual yang mengangkat tema “dari Mata Hibakujumoku: Hidup di Bawah Bayang-bayang Senjata Nuklir”.

Hibakujumoku adalah sebutan dalam bahasa Jepang untuk sebuah pohon yang dapat bertahan hidup setelah terkena ledakan bom atom Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945 lalu. Dari tema yang diangkat, terlihat bahwa pameran foto ini berusaha menceritakan kondisi kehidupan masyarakat setelah ledakan bom di Hiroshima dan Nagasaki yang disaksikan oleh Hibakujumoku. Selain itu, dilansir dari akun Instagram resmi IIS, pameran foto virtual ini sekaligus berupaya untuk menunjukkan urgensi pelarangan senjata nuklir dan ratifikasi Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapon.

Pameran foto terpandu virtual yang diadakan melalui platform Zoom Meeting ini terdiri dari tiga sesi, yaitu sesi pameran foto virtual, sesi breakout room untuk merefleksikan pameran foto, dan sesi tanya jawab. Seluruh sesi dipandu oleh Sonya Teresa, peneliti IIS. IIS juga menghadirkan Muhadi Sugiono, dosen Departemen Hubungan Internasional sekaligus anggota tim kampanye International Campaign to Abolish Nuclear Weapons (ICAN). Turut hadir pula dalam kegiatan ini Donny Putranto, perwakilan dari ICRC.

Sesi pameran foto virtual sendiri terdiri atas tiga babak. Babak pertama memiliki judul “Dunia Abu-abu Kehitaman” yang menggambarkan kondisi masyarakat persis setelah ledakan bom di Hiroshima dan Nagasaki terjadi. Sonya selaku pemandu bernarasi selayaknya “hibakujumoku” yang menceritakan apa yang ia lihat secara langsung pada kejadian itu—situasi mencekam, menyakitkan, dan menyengsarakan. Sonya juga mempersilakan Muhadi dan Donny untuk menanggapi dan bercerita singkat mengenai foto-foto yang ditampilkan. “Dengan adanya tragedi ini, dunia perlu perhatian yang lebih khusus terhadap bom nuklir,” kata Donny. Muhadi juga menambahkan, “Harusnya tragedi in membuat negara-negara tidak menjadikan nuklir sebagai senjata militer.”

Babak kedua mengangkat judul “Manusia-manusia Tamak dan Teriakan dalam Sunyi” yang menceritakan perkembangan senjata nuklir setelah tragedi bom di Hiroshima dan Nagasaki. Sonya yang berperan sebagai Sang Pencerita Hibakujumoku berkata bahwa ternyata manusia tidak jera setelah melihat dampak dari senjata nuklir—yang dibuktikan dengan terus dikembangkannya senjata nuklir. Namun, sebelum masuk ke bagian pertunjukan foto, Sonya meminta Muhadi untuk bercerita terlebih dahulu mengenai isu ini. “Banyak orang yang masih berpikir kalau senjata nuklir itu efektif untuk menciptakan perdamaian, untuk masalah ketidakseimbangan antara dua negara. Cara membaca sejarah yang salah juga turut memengaruhi,” jelas Muhadi saat Sonya menanyakan alasan di balik terus dikembangkannya senjata nuklir. Namun, foto-foto yang ditampilkan menunjukkan bahwa ternyata banyak masyarakat yang tidak menginginkan adanya senjata nuklir. Banyak protes dan demonstrasi yang digelar masyarakat untuk menentang perkembangan senjata nuklir.

Sesi pameran foto ditutup dengan babak ketiga yang berisikan refleksi ke depan dengan tajuk “Masa Depan Kita, Masih Adakah Senjata Nuklir di Sana?”. Pada babak ini, foto-foto yang ditampilkan merupakan dokumentasi pertemuan dan konvensi untuk menghapuskan pengembangan dan penggunaan senjata nuklir. Muhadi menjelaskan bahwa rapat pelarangan senjata nuklir ini memiliki peran yang sangat penting dalam penghapusan nuklir secara utuh. Hasil dari rapat ini memberikan kerangka legal yang mengisi hambatan legal dalam hal penghapusan senjata nuklir. Selain itu, perjanjian yang dihasilkan dari rapat ini juga mengubah cara pandang masyarakat terhadap senjata nuklir.

Seluruh rangkaian kegiatan dalam acara pameran foto terpandu virtual ini berjalan dengan menyenangkan. Setiap foto yang ditampilkan dalam sesi pameran foto memiliki caption yang berisi kisahnya masing-masing yang dapat menambah keseriusan peserta dalam menikmati pameran. Dalam sesi breakout room, para peserta dibagi ke dalam beberapa kelompok kecil untuk merefleksikan beberapa pertanyaan yang sebelumnya diberikan oleh Sonya. Para peserta pun aktif menjawab dan menanggapi respons satu sama lain. Begitu pula dalam sesi tanya jawab, para peserta menunjukkan antusiasmenya dengan aktif bertanya dan memberikan tanggapan. Donny, selaku perwakilan dari ICRC juga menceritakan sedikit mengenai hasil survei Millenials on the War, khususnya temuan-temuan mengenai tanggapan responden atas penggunaan senjata nuklir. “Banyak cara yang bisa kita lakukan untuk berkontribusi mengenai hal ini, bahkan hanya dengan menggunakan media sosial,” simpul Sonya menutup acara pada pukul 12.40 WIB. (/hfz)