Yogyakarta, 9 Agustus 2020—Korps Mahasiswa Politik Pemerintahan atau KOMAP Fisipol UGM bekerja sama dengan Career Development Center (CDC) Fisipol UGM dalam mengadakan Sharing Session tentang kesehatan mental di masa pendemi pada Minggu malam (9/8). Reni Apriliawati, M.Psi (Psikolog CDC) menjadi pembicara dalam membawakan topik “Mengulik Mental Health di Masa Pandemi”. Acara berlangsung melalui Live Instagram @komapugm pada pukul 19.00 WIB dengan dimoderatori oleh Risa, mahasiswa Fisipol UGM 2019.
Tanpa kita sadari, pandemi COVID-19 tidak hanya menyerang kesehatan fisik, namun juga kesehatan mental. Akibat masa karantina yang berkepanjangan, sebagian orang dapat merasa stress, cemas, dan depresi, apalagi dengan sistem belajar/bekerja online. Maka dari itu, sangat penting bagi kita untuk mengetahui dan mencegah gejala gangguan kesehatan mental di tengah masa pandemi.
Dalam pemaparannya, Reni menilai bahwa sehat mental merupakan kondisi well-being dimana kita merasakan yang namanya sejahtera. Sejahtera sendiri memiliki beberapa indikasi: pertama, ketika kita sudah bisa menerima dan mengenali potensi dari diri kita sehingga bisa berkembang dengan optimal; kedua, ketika kita bisa menghadapi tekanan hidup sehari-hari dan bisa dealing dengan hal tersebut, seperti tugas, kegiatan organisasi, dsb; ketiga, ketika kita bisa bekerja secara produktif, tidak terbengkalai, bisa tepat waktu, dsb; terakhir, terkait hubungan dengan orang lain dimana kita bisa berkontribusi kepada masyarakat, misal melaksanakan program pengabdian masyarakat.
Namun, apabila salah satu dari empat indikasi tersebut tidak dapat terpenuhi, kita perlu memberikan perhatian ke diri sendiri terkait apa yang sedang terjadi pada diri kita. Pasalnya, sehat mental adalah suatu hal yang kontinu yang mana kita bisa berada di level bawah, tengah-tengah/biasa saja, maupun tinggi dimana kita benar-benar produktif dan semangat. “Mungkin bisa dirasakan berubah-ubahnya kesehatan mental itu, jadi perlu memberikan perhatian ketika memang ada dari keempat hal tersebut yang ‘kok aku gak produktif ya, tiba-tiba kok aku cuma tidur terus’ gitu,” ungkap Reni.
Terkait sign atau tanda untuk mengetahui apakah kita sehat mental atau tidak, terdapat ciri-ciri yang bisa dijadikan acuan. Pertama, identifikasi diri. Kita harus mulai berhati-hati ketika merasakan emosi sedih atau negatif yang berkepanjangan. Kedua, perubahan terhadap habit/behavior. Misalnya, kehilangan semangat sampai mengganggu produktifitas dan kehilangan minat terhadap apa yang biasa kita lakukan. Ketiga, nafsu makan. Terjadi perubahan pola makan, entah over-eating atau bahkan sampai lupa makan yang menandakan bahwa kita sudah tidak aware lagi dengan tubuh kita sehingga kondisi mental kita sedang dalam kondisi yang tidak baik. Adapun tanda lain, seperti sulit tidur dengan kondisi kepikiran atau wondering terhadap sesuatu sehingga menyebabkan kekhawatiran. Semua hal tersebut merupakan tanda-tanda di permukaan, Reni menerangkan, jika semakin lama bisa jadi muncul psikosomatis, maag, sakit kepala, low back pain, dsb. Lebih parah lagi ketika muncul suicidal thoughts atau keinginan untuk menyudahi hidupnya. Jika terjadi hal tersebut, maka perlu ke psikolog profesional.
Kondisi yang tidak menentu pada masa pandemi ini juga menjadi salah satu faktor yang membuat sebagian orang merasa terganggu kesehatan mentalnya. Kita perlu menyadari bahwa kondisi sedang tidak baik-baik saja. Untuk tetap menjaga kesehatan mental di tengah pandemi, kita perlu menyadari dan menerima apapun yang kita rasakan, bahkan ketika itu cemas, khawatir, atau sulit karena sebenarnya hal tersebut yang bisa menjadi kekuatan untuk diri kita sendiri. Pasalnya, perasaan tersebut tidak selamanya buruk, namun bisa membawa kita dalam kehati-hatian dalam berperilaku dan lebih prepare dalam menghadapi sesuatu. Namun, apabila kita berusaha mengusir situasi atau memiliki perasaan ingin mengubah situasi yang terjadi justru malah membuat kita semakin frustasi dan lupa akan hal-hal sederhana yang bisa kita nikmati di situasi seperti ini, karena banyak hal yang tidak bisa kita kontrol, termasuk realita. “Realita adalah hal yang tidak bisa kita kontrol, tidak bisa kita ubah seberapa besar pun kita berusaha untuk memutar otak kita supaya itu (situasi) pergi, itu sama aja tidak mengubah realita yang terjadi saat ini,” tutur Reni. (/Wfr)