Pandemi COVID-19 dan Politik Oligarki di Indonesia

Yogyakarta, 11 Agustus 2020—Setelah vakum selama delapan bulan, MAP Corner Fisipol UGM kembali menyelenggarakan diskusi mengenai pandemi COVID-19 dan politik oligarki di Indonesia. Pada kesempatan kali ini, diskusi dipandu oleh Alih Nugroho dan menghadirkan dua pembicara yaitu Nining Elitos dari KASBI dan Abdil M.Mudhoffir yang saat ini menempuh Postdoctoral Visitor University of Melbourne. Acara diskusi ini diselenggarakan secara daring via platform zoom dan terbagi dalam dua sesi yaitu sesi sharing dari pembicara dan sesi tanya jawab dengan peserta diskusi.

Sebelum memulai sesi sharing, Alih Nugroho memberikan prolog untuk memandu arah diskusi. Dalam penuturannya Alih menyampaikan bahwa pandemi COVID-19 semakin bertambah besar dan berdampak pada sektor sosial ekonomi masyarakat. Kondisi buruk tersebut semakin bertambah kacau dengan banyaknya kebijakan yang tidak memihak rakyat namun justru memihak oligarki. Beberapa kebijakan yang dinilai merugikan masyarakat ini diantaranya adalah UU minerba dan yang terbaru RUU Ciptaker Omnibuslaw. Pada diskusi sore ini, pembahasan utama akan berbicara mengenai lingkup situasi struktural seperti apa yang membuat pemerintah memihak oligarki dan langkah-langkah seperti apa yang dapat dilakukan untuk membuat kebijakan berpihak kepada masayarakat.

“Dalam situasi krisis, ada masalah ekonomi dan Kesehatan, COVID-19 membahayakan keselamatan rakyat. Namun, bersama situasi tersebut ada hal  yang lebih berbahaya dan mengancam kelangsungan hidup panjang rakyat” tutur Nining dalam membuka sesi sharing pertama. Sejak 2019 telah terjadi krisis di beberapa negara seperti perang dan krisis ekonomi. Indonesia turut memperoleh dampak dari krisis tersebut, kemunculan UU yang mendorong fleksibilitas menjadi penanda dari upaya negara ini merespon dampak krisis di dunia. Nining juga menyampaikan bahwa dalam situasi krisis ini pemerintah bukan berfokus dalam penanganan COVID-19 namun justru upaya penyelamatan swasta. Kondisi tersebut dapat dilihat dari beberapa tindakan pengabaian yang dilakukan oleh pemerintah seperti tetap memperkerjakan buruh ketika awal masa pandemi padahal pekerja kantoran atau PNS melaksanakan work from home. Selain itu, kebijakan kartu pra kerja dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) pada realitanya juga tidak dapat diakses secara mudah oleh para buruh.

Menyambung penuturan dari Nining, pembicara kedua lebih berfokus pada pembahasan mengenai penyebab Indonesia memiliki performance buruk dalam penanganan COVID-19. Menurut Abdil, terdapat dua indikator untuk mengukur keberhasilan yaitu upaya menangani kesehatan masyatakat dan yang kedua terkait penjaminan hak warga. Negara yang berhasil menjamin dua hal tersebut diantaranya ada New Zealand dan Jerman. Namun, beberapa negara lain hanya berhasil memenuhi salah satu indikator tersebut atau bahkan gagal dalam memenuhi keduanya. Sebagai contoh, negara-negara eropa berhasil menjamin hak warganya namun gagal menjamin kesehatan warga. Sedangkan beberapa negara otoriter seperti Singapura, Vietnam, dan China dinilai berhasil menjamin kesehatan warga namun gagal menjamin hak masyarakatnya.

Indonesia dan Amerika Serikat termasuk ke dalam contoh negara yang gagal memenuhi kedua indikator di atas. Kegagalan penanganan COVID-19 di Indonesia semakin buruk ketika negara justru memanfaatkan kondisi krisis untuk memperoleh keuntungan bagi pengusaha. Menutup penuturannya Abdil menyampaikan bahwa “Kekuasaan Indonesia didominasi oleh sistem oligarki yang operasinya bertumpu pada kekacauan dan disorder.  Oleh karena itu, kondisi pandemi ini justru dimanfaatkan untuk akumulasi kapital ketimbang upaya mengatasinya”. Diskusi ini dilanjutkan dengan sesi tanya jawab dan berlangsung dari pukul 15.00-16.30 WIB.  (/Mdn)