Menilik Posisi Mahasiswa Indonesia dalam Pasar Kerja di Era Digital pada Diskusi Daring Pertama Seri Kuliah Kecerdasan Digital

Yogyakarta, 27 Agustus 2020—Pada semester ini, Center for Digital Society, Forbil Institute, dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM bekerja sama mengadakan Seri Kuliah Kecerdasan Digital. Seri Kuliah Kecerdasan Digital merupakan rangkaian mata kuliah pilihan yang akan disediakan bagi para mahasiswa yang minimal telah mengikuti perkuliahan selama satu tahun (memasuki semester tiga). Selain mengadakan kelas-kelas kuliah rutin, Seri Kuliah Kecerdasan Digital juga menyediakan diskusi daring dengan narasumber yang berkaitan dengan isu dan tema seputar kecerdasan digital. Sebagai pembuka sekaligus pengenalan, Seri Kuliah Kecerdasan Digital mengadakan diskusi daring pertama dengan tajuk “Menilik Posisi Mahasiswa Indonesia dalam Pasar Kerja di Era Digital”.

Materi yang dibawakan dalam diskusi daring ini diambil dari penelitian “Pendidikan Tinggi 4.0 dan Kesiapan Tenaga Kerja Masa Depan Indonesia” yang dilakukan CfDS pada bulan April 2019 sampai Februari 2020. Sesuai judulnya, penelitian ini berusaha melihat kesiapan mahasiswa dan lembaga pendidikan tinggi Indonesia dalam mempersiapkan diri untuk memasuki pasar kerja yang semakin berbasis teknologi. Penelitian ini berusaha melihat persoalan dari sudut pandang dua aktor, yaitu mahasiswa dan lembaga pendidikan tinggi. Oleh sebab itu, penyampaian materi pun dilakukan secara dua tahap dan dilakukan oleh dua pembicara yang berbeda.

Pemaparan hasil penelitian dimulai dari sudut pandang mahasiswa yang disampaikan oleh Anisa Pratita Kirana Mantovani, Research Manager CfDS. Dari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang mencakup kepemilikan gawai, koneksi internet yang dimiliki, kemampuan TIK, dan kepercayaan diri mahasiswa untuk memasuki pasar kerja setelah menyelesaikan pendidikan tinggi, ternyata Tim Peneliti melihat banyak temuan unik. Dari informasi pribadi semacam pengeluaran untuk internet saja, Tita menjelaskan bahwa terlihat keberagaman di sini. Meski kebanyakan responden menghabiskan kisaran seratus hingga dua ratus ribu untuk internet, tetapi ada juga responden yang mengungkapkan bahwa ia membutuhkan hingga satu juta.

Temuan unik lainnya dari perspektif mahasiswa muncul pada pembahasan mengenai kemampuan TIK para responden. Terdapat keterampilan TIK yang berbeda dan bervariasi pada mahasiswa Indonesia jika dilihat dari beberapa pengelompokan seperti jenis kelamin (perempuan dan laki-laki), jenis program studi (STEM dan non-STEM), dan peringkat universitas (tinggi, menengah, dan rendah). Skor tertinggi kemampuan TIK mahasiswa Indonesia pun masih berada di level dasar, dilanjutkan dengan level menengah, dan level tinggi. Meski begitu, tingkat kepercayaan diri mahasiswa Indonesia untuk memasuki pasar kerja di era revolusi industri 4.0 melampaui skor keterampilan TIK yang mahasiswa miliki.

Berbeda dengan hasil perspektif mahasiswa yang didapatkan melalui survei daring, hasil perspektif lembaga perguruan tinggi didapatkan dengan mewawancarai rektor atau aktor di level pengambil kebijakan perguruan tinggi yang berkaitan dengan kurikulum. Janitra Haryanto, Project Officer CfDS, menyampaikan lebih banyak temuan menarik pada hasil perspektif lembaga perguruan tinggi.

Dari seluruh 19 aktor perguruan tinggi yang berhasil diwawancarai, seluruhnya menunjukkan bahwa tiap universitas sudah memiliki infrastruktur dan fasilitas pendidikan digital dasar, seperti wifi dan perpustakaan daring. Sementara itu, untuk fasilitas digital lanjutan semacam platform pendidikan daring, hanya empat universitas yang memilikinya.

Meskipun begitu, seluruh responden percaya diri bahwa lulusan institusinya mampu menghadapi revolusi industri 4.0. Namun hal ini tidak menghapuskan narasi pesimis beberapa pembuat kebijakan di level perguruan tinggi Indonesia mengenai kesiapan sistem pendidikan Indonesia untuk mencetak lulusan yang mampu bersaing di era revolusi industri 4.0. Selain itu, peneliti juga menemukan adanya perbedaan prinsip dan persepsi mengenai strategi dan peran institusi pendidikan tinggi dalam mempersiapkan mahasiswanya untuk bersaing di pasar kerja.

Setelah kedua pembicara menyampaikan temuan-temuan menarik dalam penelitian ini, Yuliana Khong—moderator, Project Officer CfDS, membacakan beberapa pertanyaan yang dituliskan oleh para peserta diskusi di kolom komentar Youtube dan Facebook. Pertanyaan-pertanyaan para peserta tidak hanya berfokus pada hasil penelitian yang disampaikan, tetapi juga terkait dengan Seri Kuliah Kecerdasan Digital. Mengakhiri keseluruhan diskusi daring pertama dengan beberapa poin kesimpulan, moderator pun resmi menutup acara pada pukul 17.00 WIB. Tayangan ulang dari diskusi daring pertama Seri Kuliah Kecerdasan Digital dapat ditonton di kanal Youtube CfDS UGM. (/hfz)