Difussion CfDS #34: Melihat Regulasi Pemerintah Hingga Hubungan Mobile Game di Era New Media

Yogyakarta, 18 September 2020—Center for Digital Society (CfDS) kembali menghadirkan Difussion  ke-34 yang bertajuk “Old vs New Media: The Transformation of Digital Culture” bersama Mira Ardhya Paramastri  dan Theodore Great Aipassa selaku Research Associate CfDS yang diselenggarakan melalui kanal Youtube Live.

Diawali oleh pemaparan materi yang berjudul ”Old Media vs New Media : Can Government Regulates Digital Media” oleh Theodore Great Aipassa, diskusi dipantik dengan pertanyaan “Apakah media baru perlu diregulasi pemerintah?”.

“Transformasi revolusi digital memunculkan karakteristik media baru. Dulu, media di Indonesia sangat tersentralisasi dengan hanya ada satu chanel TV yaitu TVRI, lalu semakin berkembang dan terjadilah transformasi dimana media berubah menjadi terdesentralisasi dengan munculnya banyak chanel baru. Contohnya, kepemilikan stasiun TV masih terpusat tapi salurannya bertambah,” ujar Great.

“Lalu semakin berkembangnya teknologi, media bukan lagi terdesentralisasi melainkan berlanjut ke tahap terdistribusi dimana semua orang yang memiliki akses internet dapat mengunggah dan menyebarkan konten lewat  Youtube dan media sosial lainnya. Namun terdistribusinya konten  memiliki aspek positif dan negatifnya tersendiri. Positifnya, semua orang bisa membagikan konten apapun mulai dari edukasi hingga financial literacy yang dapat membuat orang  berkomunitas,” ujar Great.

“Namun banyaknya konten yang bebas juga menimbulkan aspek negatif terutama bagi pengguna yang masih anak-anak dan remaja yang tingkat emosinya belum stabil. Sayangnya, hal ini tidak dapat dihindari karena teknologi akan semakin menyatu dengan kehidupan dan mau tidak mau, harus ada regulasi,” ujar Great.

Dalam membuat regulasi media baru, Great memaparkan tiga dilema sulitnya menerapkan aturan tersebut. Pertama, area regulasi yang mencakup area internasional dimana konten dapat berasal dari berbagai negara.  Kedua, aktor yang berwenang untuk menerapkan regulasi. Ketiga, jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan untuk memonitor konten media baru.

“Meskipun platform seperti Netflix sudah mempunyai regulasi sendiri untuk mengatur konten serta media baru lain seperti YouTube, Facebook dan Twitter yang sudah memiliki ribuan pekerja untuk memonitor konten, masih ada saja hal diluar pengawasan karena banyaknya konten yang muncul tiap harinya,” ungkap Great.

Bagi Great, tawaran solusi mengenai regulasi pengaturan media baru yang utama adalah mementingkan hak kebebasan berpendapat. “Jangan sampai regulasi menghilangkan hak masyarakat, apakah nantin konten harus selalu dimonitor, apakah opini yang melawan pemerintah akan dituntut, dan yang lainnya,” papar Great.

Melalui hal tersebut, penting adanya kolaborasi antar pemerintah dan insitusi media baru untuk membuat regulasi yang tepat.  Teknologi juga harus menciptakan algoritma yang mampu memonitor kualitas konten. Terakhir, melibakan pengguna untuk memonitor konten secara mandiri juga penting untuk dilakukan.

Selanjutnya, pemaparan kedua yang berjudul “Mobile Gaming in Indonesia: Relationship through New Media” dibawakan oleh Mira Ardhya Paramastri yang melakukan riset mengenai bagaimana masyarakat digital menciptakan kluster komunitas yang salah satunya tercipta melalui mobile game.

“Perkembangan media sosial sangatlah pesat, bersosialisasi secara daring juga dapat dilakukan melalui aplikasi mobile gaming dimana bisnis mobile gaming di Indonesia sangatlah tinggi yang jumlah penggunanya mencapai 43 juta,” jelas Mira.

Adanya interaksi melalui mobile game tersebut menciptakan tiga tipe jenis hubungan. Pertama, existing relationship atau hubungan yang sudah ada dalam memengaruhi pengguna untuk bermain misalnya dari keluarga, lingkungan peer relation, hingga iklan online shop.

Kedua, In-Game relationship dimana bermain gim menciptakan hubungan yang bertemu dengan teman baru di dalam platform dan sebagai ruang rekreasi. Ketiga, Outside-Game relationship, yaitu hubungan yang dipererat di diluar platform game dengan mempertahankan hubungan diluar platform melalui meet up dengan komunitas di dunia nyata.

“Melalui pemetaan tersebut, riset yang dilakukan membuktikan bahwa hubungan baru cenderung terbentuk setelah bermain mobile game dengan  terlibat dalam komunitas. Pemain-pemain mobile game juga ingin melakukan interaksi sosial dimana masyarakat digital membuat kluster aktif komunitas saling berhubungan,” ujar Mira memberi kesimpulan dari diskusi hari itu. (/Afn)