Menyoal Demokrasi Sosial di Amerika Serikat dan Skandinavia dalam Diskusi IRCCT INKA KOMAHI dan Scanity UGM

Yogyakarta, 23 Oktober 2020—IRCCT INKA KOMAHI bekerja sama dengan Scandinavian Community (Scanity) UGM mengadakan diskusi untuk membahas demokrasi sosial dari sudut pandang Amerika dan Skandinavia. Topik tersebut diangkat dengan melihat bahwa di Amerika Serikat, ide-ide mengenai demokrasi sosial mengalami peningkatan popularitas pada beberapa tahun terakhir. Tokoh-tokoh seperti Bernie Sanders, Elizabeth Warren, dan berbagai kalangan Demokrat progresif Amerika Serikat lainnya juga muncul dengan gagasan seperti The Green New Deal dan Universal Basic Income.

Sementara itu, negara-negara Skandinavia sendiri merupakan acuan dalam penerapan demokrasi sosial. Kesuksesan Skandinavia yang diukur dari berbagai indikator membuat negara lain, termasuk Amerika Serikat, berkeinginan untuk mengadopsi hal serupa. Bertajuk “The Rise of Social Democracy: An American versus a Scandinavian Experience,” diskusi ini menghadirkan Dr. Nanang Kurniawan, selaku Departemen Ilmu Politik dan Pemerintahan UGM, dan Siti Kurniati Rasad, S.Hum, M. A., Alumni S2 Pengkajian Amerika, sebagai pembicara.

Dibuka pukul 13.30 WIB, diskusi yang dilaksanakan melalui platform Google Meet ini dimulai dengan pengantar materi singkat dari moderator dan langsung dilanjutkan dengan pemaparan materi dari pembicara pertama, yaitu Siti. Membawakan materi berjudul “Social Democracy in America”, Siti memulai pemaparannya dengan menjelaskan perbedaan antara democratic socialism dan social democratic. Ia menjelaskan bahwa kedua hal ini pada dasarnya memiliki makna yang berbeda. Namun, masyarakat bahkan tokoh ternama sering salah memaknai kedua terminologi ini. Dalam pembuka materinya, Siti juga memaparkan mengapa isu demokrasi sosial ini menjadi perbincangan di Amerika Serikat. Untuk memperjelas konteks yang akan dibahas, Siti tidak lupa menjelaskan demokrasi sosial dalam tataran teoritis. Barulah setelah itu Siti memaparkan bagaimana implementasi dan perkembangan terkini demokrasi sosial di Amerika Serikat sebagai penutup materinya.

Melanjutkan sesi materi, pembicara berikutnya—Nanang membicarakan mengenai kondisi demokrasi sosial di Skandinavia. Namun sebelum masuk ke materi yang ia bawakan, Nanang sedikit mengulas ulang materi yang dipaparkan oleh Siti dan hubungannya dengan materi bertajuk “The Rise of Social Democracy: Scandinavian Experience” miliknya. Nanang mengawali materinya dengan menunjukkan World Happiness Report 2019. Dari bagan yang ia tampilkan, Nanang menjelaskan bahwa mayoritas sepuluh besar negara dengan tingkat bahagia tertinggi di dunia merupakan negara Skandinavia. Tingkat kebahagiaan yang ia jelaskan di awal ini akan berhubungan dengan inti materinya nanti.

Memasuki inti materi, Nanang memaparkan tentang bagaimana negara-negara lain menjadikan Skandinavia sebagai ‘kiblat’ dari pelaksanaan sistem demokrasi sosial dan pencapaian-pencapaian yang diraih oleh negara-negara Skandinavia sebagai dampak dari penerapan sistem demokrasi sosial. Nanang menjelaskan bahwa dalam demokrasi sosial, termasuk yang diterapkan di Skandinavia, selain kesetaraan politik, kesetaraan sosial juga dianggap sebagai hal penting. Dengan memerhatikan kesetaraan sosial masyarakatnya, kemudian terbangun kepercayaan dan solidaritas yang tinggi, baik antar warga maupun antara warga dengan pemerintah. “Terdapat tiga pilar penting dalam demokrasi sosial, yaitu solidaritas, equality, dan trust,” ungkap Nanang menyimpulkan sekaligus menutup pemaparan materinya.

Tidak hanya Nanang dan Siti, para peserta juga turut membagikan insight dan hal-hal yang mereka ketahui mengenai isu demokrasi sosial dalam sesi diskusi dan tanya-jawab. Setelah seluruh tanggapan dan pertanyaan dijawab oleh kedua pembicara, moderator mengajak seluruh peserta untuk foto bersama sebagai penutup rangkaian acara. Acara pun resmi diakhiri pukul 15.15 WIB. (/hfz)