FGD Penyusunan RUU Kesejahteraan Sosial oleh Komite III DPD RI dan Departemen PSdK Fisipol UGM

Yogyakarta, 12 April 2021─Perlindungan sosial adalah hak setiap warga negara sehingga jaminan akan kesejahteraan sosial perlu diatur secara lengkap dalam sebuah undang-undang. Untuk itu, Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Fisipol UGM bersama Komite III DPD RI menyelenggarakan diskusi untuk merevisi UU No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial.

Focus group discussion untuk menyusun Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Sosial diselenggarakan di Ruang Seminar Timur Fisipol UGM (12/04) dengan diikuti berbagai pemangku kepentingan, mulai dari akademisi, staf ahli DPD RI, Kepala Dinas Sosial Kabupaten Sleman, hingga perwakilan lembaga swadaya masyarakat.

Tukino, salah satu Tim Ahli RUU sekaligus Dosen Politeknik Kesejahteraan Sosial Bandung, mengatakan UU Kesejahteraan Sosial yang baru perlu dibuat untuk menekankan bahwa perlindungan sosial adalah bagian dari hak dasar warga negara dan pembangunan nasional. 

“Selama ini program kesejahteraan sosial masih dinilai sebagai kemurahan pemerintah, padahal seharusnya menjadi hak  dasar warga negara,” kata Tukino. 

Selain itu, menurutnya, pada tataran implementasi, program-program perlindungan sosial dinilai belum secara penuh mengarah pada sistem perlindungan sosial yang komprehensif dan adaptif, sehingga menyisakan beberapa persoalan yang menyangkut capaian dampak program perlindungan sosial dalam mengatasi kemiskinan.

Guna menggali informasi dan gagasan untuk inventarisasi materi bahan penyusunan draf RUU, peserta FGD dibagi menjadi dua kelompok besar. Dengan difasilitatori oleh tim PSdK Fisipol UGM, peserta mengungkapkan berbagai argumennya baik dalam tataran akademik maupun praktik guna mendukung penyusunan draf RUU tersebut. Berbagai persoalan mulai dari analisis permasalahan utama, hingga persoalan-persoalan dalam implementasi program kesejahteraan sosial dituangkan melalui FGD.

Pertama, perlunya redefinisi kesejahteraan sosial yang memperhatikan lokalitas, kebutuhan generasi, rural-urban, makro (pemenuhan kebutuhan dasar, pengelolaan masalah sosial, optimalisasi kesempatan sosial), dan mikro. Kedua, terkait analisis aktor-aktor sebagai pelaku intervensi (negara, masyarakat, keluarga, individu).

Ketiga, perlunya perbaikan mekanisme pendataan melalui sistem bottom-up atau partisipatif. Keempat, perlunya memerhatikan faktor indigenous dan local wisdom sebagai prinsip-prinsip kesejahteraan sosial. Kelima, mendorong perencanaan program yang lebih inklusif serta menjamin tidak ada warga negara yang tereksklusi dari hal sebagai warga negara.

Keenam, perlunya penanggulangan overlapping antar UU serta persoalan ego sektoral yang juga sejalan dengan mekanisme birokrasi yang acap kali menghambat kontribusi lembaga sosial dalam menangani masalah sosial. Ketujuh, perlunya penanganan isu secara multi disiplin serta model partnership antara pemerintah, masyarakat sipil dan swasta.

Selain hal-hal tersebut di atas, FGD yang dilakukan oleh peserta juga merekomendasikan terkait memosisikan penerima bantuan sebagai subjek, bukan objek. Hal tersebut senada dengan pernyataan Suzzana, Dosen Departemen PSdK Fisipol UGM, bahwa perlu melihat penerima program sebagai subyek yang diberdayakan untuk dapat memberdayakan dirinya serta membuka relasi-relasi yang memberdayakan. Dengan begitu, subsidi yang diberikan pemerintah dapat diarahkan pada subsidi produktivitas, bukan tentang charity. Sehingga, diharapkan prinsip empowerment dapat betul-betul diimplementasikan dalam pencapaian kesejahteraan sosial.

Disampaikan langsung oleh Tukino, bahwa Komite III DPD RI sebagai salah satu alat kelengkapan DPD RI yang salah satu lingkup tugasnya dalam bidang kesejahteraan sosial, pada tahun 2021 ini menginisiasi penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang–Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial. Adapun hal tersebut bertujuan untuk melakukan inventarisasi, identifikasi dan analisis menyangkut permasalahan kesejahteraan sosial baik nasional maupun  lokal kedaerahan; melakukan dialog, menggali informasi dan gagasan untuk inventarisasi materi bahan penyusunan draf RUU; serta menggali informasi mengenai kebijakan di bidang kesejahteraan Sosial yang dilakukan oleh pemerintah daerah dan efektivitas pelaksanaannya. (/Ann)