Dalam diskusi ini, Milda menawarkan pendekatan kritis untuk memahami terjadinya kekerasan seksual. “Ada beberapa istilah yang mampu menjelaskan terjadinya kekerasan seksual pada perempuan”, ungkapnya. Pertama, misogini yang terkait dengan seksisme, kebencian, dan kecurigaan terhadap perempuan. Kedua, sistem sosial yang memberikan keistimewaan pada laki-laki. Ketiga, relasi kuasa yang timpang, ini seringkali muncul dalam hubungan intimasi yang mengontrol perilaku. Keempat yaitu male gaze, konsep yang menekankan pengambilan sudut pandang laki-laki dalam melihat fenomena, sehingga tubuh perempuan mengalami seksualisasi. Kelima, maskulinitas yang menghegemoni yang direproduksi oleh sistem yang heteronormatif.
Suharti mengemukakan bahwa hampir semua perempuan pernah mengalami kekerasan seksual. Ia melanjutkan bahwa pelaku kekerasan seksual biasanya adalah orang-orang terdekat yang sudah saling mengenal, misalnya pasangan, anggota keluarga, kyai, atau kenalan dari aplikasi kencan. “Meskipun juga terdapat kekerasan seksual yang pelakunya tidak dikenali”, tambahnya.
Selama pandemi, laporan kekerasan seksual yang yang diterima Rifka Anisa naik sebanyak tiga kali lipat. “Sebelumnya, laporan yang masuk dalam setahun rata-rata hanya 300 hingga 350-an kasus, kemarin 900 kasus lebih”, ungkapnya. Suharti melanjutkan bahwa 600-an laporan teridentifikasi berasal dari luar daerah, sehingga Rifka Anisa merujuk ke layanan terdekat agar lebih mudah diakses. Kasus-kasus yang berkembang selama pandemi ini merupakan kasus kekerasan seksual berbasis daring, bentuknya pelecehan secara daring, diperdaya, perkenalan melalui aplikasi kencan, dan lain-lain. (/anf)