Yogyakarta, 3 Juni 2021━Departemen Ilmu Komunikasi (Dikom) UGM menggelar kuliah praktisi mata kuliah Jurnalisme Kisah bertajuk Berkisah di Era Digital: Mengulik dari Perspektif Jurnalisme Kisah (03/06). Kuliah praktisi ini mendatangkan Qaris Tajudin, Direktur Tempo Institute, selaku pembicara dan dihadiri oleh mahasiswa peminatan jurnalisme Dikom UGM.
Tempo merupakan media pelopor praktik jurnalisme kisah atau jurnalisme sastrawi (literary journalism) di Indonesia. Pada permulaannya di tahun 1971, pekerja di Tempo umumnya merupakan seniman atau sastrawan. Tempo juga hanya diproduksi mingguan, sehingga mereka menonjolkan aspek hiburan dalam berita dan mengesampingkan kecepatan. Literary journalism ini juga menjadi solusi untuk mengkritik pemerintah yang tidak bisa dilakukan secara langsung.
Meskipun begitu, Qaris menyebutkan bahwa praktik literary journalism oleh Tempo terus mengalami penyesuaian. Mulai tahun 1998, media-media online mulai berkembang dan kritis tidak lagi menjadi hal unik. Tempo pun mengembangkan laporan investigatif, khususnya pada Majalah Tempo.
“Dulu orang hanya punya waktu-waktu tertentu untuk membaca, sehingga literary journalism yang terbit mingguan masih ditunggu-tunggu. Sekarang setiap saat kita bisa membaca, sehingga berita harus eksklusif dan berbeda dengan yang lain,” kata Qaris. Menurutnya, berita investigatif tidak hanya mengandalkan kemampuan menulis yang enak dibaca, tetapi juga peliputan yang handal. Hal ini sempat membuat goyah jurnalisme sastrawi di Tempo. Selain itu, tuntutan pemenuhan search engine optimization (SEO) dan keywords di media daring mulanya juga menjadi tantangan.
Namun, Qaris menyebutkan bahwa berita investigatif dan longform (naratif) kini telah memiliki pasarnya sendiri. Hanya saja, penulis harus bisa membalut laporan investigasi dengan kisah yang memudahkan pembaca untuk memahaminya. Di sinilah peluang jurnalisme sastrawi kembali muncul.
Qaris membagikan tujuh tips yang harus diperhatikan dalam proses produksi jurnalisme sastrawi ala Tempo, yaitu mencari cerita bukan berita (story behind the news), memerhatikan detail (the devil in detail), menyajikan tulisan dengan sederhana dan kalimat pendek (keep it short and simple), membuang tiga paragraf pertama yang tidak penting (three idiots), mengurangi kata sifat dan menekankan deskripsi (show don’t tell), rekonstruksi cerita (flashback), dan menghadirkan unsur jenaka pun bisa (witty).
Sebagai penutup, Qaris menyebutkan bahwa sepanjang dua puluh tahun perjalanannya menjadi jurnalis, Ia merasa tidak ada bidang yang jelek di jurnalisme. Jurnalisme kisah menjadi salah satu cara untuk mengemas berita terkait berbagai bidang menjadi lebih menarik.
“Jurnalisme kisah menjadi tools yang sangat powerful untuk memberitakan apa saja,” kata Qaris. Ketika menulis berita tentang suatu peristiwa atau objek, jangan hanya memberikan gambaran, tetapi juga memaparkan kisah di baliknya. (/Raf)