Yogyakarta, 5 Juni 2021━Dewan Mahasiswa FISIPOL UGM kembali menggelar program Dialektika bertajuk “Virtual Police, Perlu atau Tidak?” pada Sabtu (5/6). Pada kesempatan ini, Dema menghadirkan Fatahillah Akbar, S.H., LL.M. (Dosen Hukum Pidana UGM), Irnasya Shafira Hadi (Peneliti CfDS UGM) sebagai pembicara, dan Haris Naufal (Mahasiswa Ilmu Komunikasi 2019) sebagai moderator. Acara berlangsung melalui Zoom Meeting pada 15.00-17.30 WIB.
Virtual Police atau polisi siber adalah satuan tim di bawah naungan dari Bareskrim Polri, disebut juga Direktorat Tindak Pidana Siber. Memasuki kehidupan digital dimana garis antara dunia nyata dan dunia digital sangatlah kabur, kehadiran polisi siber dianggap urgen oleh pemerintah. Hal tersebut juga didorong oleh keadaan hoaks yang semakin merajalela saat kondisi pandemi. Diketahui terdapat 1.106 isu hoaks terkait Covid-19 yang tersebar di 1.912 platform pada Agustus 2020. Bahkan selama 3 tahun terakhir, dilaporkan bahwa hoaks yang beredar terus meningkat. Adanya ancaman kekacauan, kekhawatiran dan kecemasan di masyarakat, sehingga negara dianggap perlu hadir dalam dunia internet.
Terdapat dua jenis pidana yang harus ditangani oleh polisi siber, yakni computer crime dan computer-related crime. Computer crime meliputi hacking, manipulasi data digital, web phising, serangan terhadap sistem keamanan digital, dsb. Sedangkan computer-related crime meliputi penyebaran video porno, judi online, penyebaran hoaks, pencemaran nama baik, ujaran kebencian, dsb.
Irnasya menuturkan, perlu atau tidaknya keberadaan polisi siber itu sangat dilematis. Pada satu sisi, kasus cyber crime di Indonesia sangat memprihatinkan. Akan tetapi, pada kenyataannya polisi virtual di Indonesia cenderung lebih panas ke arah pemolisian konten, padahal hal itu tidak perlu dilakukan oleh penegak hukum. Dengan demikian, kita membutuhkan polisi virtual untuk bekerja menjadi otoritas hukum yang bisa membantu kita merasa aman di dunia siber.
“Secara harfiah, polisi virtual itu perlu tetapi bukan untuk menyasar pada pemolisian konten, kalau misal mau pemolisian konten maka yang harus ditekan adalah isu literasi digital, tetapi seharusnya itu tidak dilakukan oleh penegak hukum, melainkan lebih ke satuan tugas yang lain,” tutur Irnasya.
Sementara, Fatahillah menjelaskan bahwa polisi virtual harus memiliki batasan kapan dan dalam hal apa perkara naik tanpa konflik kepentingan, serta berperan menegakkan hukum secara berimbang. Selain itu, polisi virtual juga bertugas menekankan pada konsep ultimum remidium dan tentu memberi edukasi pada masyarakat menjadi poin utama. Sebagai masyarakat, kita pun harus bersikap lebih cerdas dalam bermedia sosial.
“Pertama, jangan melakukan hate speech, jangan terlibat dalam grey area, tetap menyampaikan kritik dengan cara yang elegan dan harus cek kebenaran informasi sebelum share,” ungkap Fatahillah. (/Wfr)