Yogyakarta, 23 Juli 2021─Keluarga Mahasiswa Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (KAPSTRA) UGM menggelar program Diskon #2 bertajuk “Bincang Tipis-Tipis Pendidikan yang Humanis” pada Jumat (23/7). Pembicara dalam acara ini adalah Toto Rahardjo, pendiri Akademi Sanggar Anak Alam (SALAM) Yogyakarta dan Zita Wahyu Larasati, S. Sos., M. A, dosen PSdK Fisipol UGM. Acara berlangsung melalui Zoom Meeting pada 13.00-15.00 WIB, dengan dimoderatori oleh Roichan Rochmadi I., mahasiswa PSdK 2019.
Sekolah berasal dari bahasa latin scholae yang berarti menghabiskan waktu luang. Dalam catatan sejarah, proses pendidikan adalah belajar mengenai suatu kebijaksanaan tentang bagaimana kita menjadi manusia yang utuh. Namun, pendidikan akhirnya mengalami penyempitan makna yang mana ketika kita berbicara mengenai sekolah merujuk kepada satu ruang fisik. Padahal, tanpa kita sadari bahwa sebenarnya kita bisa belajar dimana saja. Paulo Freire dalam buku “Pendidikan Kaum Tertindas” menyatakan bahwa pendidikan adalah proses untuk mencintai kemanusiaan, hal serupa disampaikan Romo Mangunwijaya bahwa dimana hati diletakkan, disitulah proses belajar dimulai.
“Oleh karena itu, ketika berbicara mengenai pendidikan, kita baiknya mendasarkan itu pada proses cinta, proses dimana ada kasih, ada humanity/rasa kemanusiaan disitu,” ucap Zita. Sementara, Toto Rahardjo membenarkan pernyataan Zita bahwa menurutnya prasyarat untuk mempertahankan humanitas adalah keadaan. “Humanitas itu akibat dari keadaan yang ada, kalau keadaannya sudah babak belur ya sulit kita hindari, makanya ini agak lucu ketika negara akan membentuk karakter melalui sekolah, ini perencanaan akhir sekali, tidak bisa itu hanya dibebankan pada institusi sekolah,” ungkapnya.
Zita menerangkan, dalam buku “Pendidikan Kaum Tertindas”, Paulo Freire menyatakan bahwa yang terjadi hari ini adalah pendidikan bergaya bank. Hal serupa dianalogikan oleh Wahono dalam buku “Pendidikan yang Memerdekakan” bahwa ada dua kategori pendidikan, yakni gaya ayam dan gaya anjing (merujuk pada gaya bank). Proses pendidikan bergaya bank adalah ketika guru atau sekolah menjadi sentral, seakan murid adalah selembar kertas kosong yang harus diisi. Sedangkan dalam pendidikan gaya ayam atau pendidikan yang memerdekakan, guru dan murid berada pada posisi yang setara dimana akhirnya mereka melakukan aksi dan refleksi sehingga pendidikan tidak mereproduksi pengetahuan melainkan memproduksi pengetahuan.
Keterkaitan dengan pendidikan saat ini, murid diharapkan dapat memiliki skills berpikir analitik, berpikir kritis, berpikir kreatif, problem solving, membuat perencanaan dan semacamnya. Tentu saja, skills tersebut akan sangat sulit dimiliki oleh anak yang mengalami proses pendidikan yang mengekang karena ia tidak diberikan ruang untuk melakukan eksplorasi dan hanya menerima. “Pendidikan yang memerdekaan itu adalah pendidikan yang sangat penting untuk dilakukan di mana peserta didik diberikan ruang untuk melakukan eksplorasi, kreatif, dan integratif,” ungkap Zita. (/Wfr)