Yogyakarta, 11 September 2021─Keluarga Mahasiswa Manajemen dan Kebijakan Publik Fisipol UGM menghadirkan ASEAN Innovative Policy Conference (AIPC). Bertemakan “Innovative Youths in Action: Emphasizing Public Value in Addressing Perpetual Social Issues”, acara ini menjadi rangkaian dari agenda Public Action 2021. Acara tahunan tersebut diselenggarakan secara daring melalui platform Zoom Cloud Meeting.
Tahun ini, Public Action menaruh perhatian pada berbagai persoalan serta tantangan dalam eksistensi tiga pilar komunitas di ASEAN. Pertama, kekhawatiran tentang dampak sosial dan lingkungan dalam rantai produksi serta konsumsi industri fast fashion. Hal ini mengingat banyaknya industri fast fashion yang cenderung mendirikan pabrik mereka di negara berkembang karena biayanya yang lebih rendah. Kedua, perlunya dukungan terhadap perjuangan masyarakat adat dalam mendapat kesejahteraan terutama untuk mendapatkan akses ke publik dan barang jasa. Ketiga, masih adanya keterbatasan dalam mengamalkan nilai demokrasi khususnya kebebasan berekspresi dan berpendapat di era digital demokrasi.
Untuk membedah setiap tantangan di atas, AIPC menghadirkan lima pembicara dengan latar belakang serta studi keilmuan yang beragam. Pembicara tersebut diantaranya, Butet Manurung, Pendiri Sokola Rimba; Abigail Limuria, Co-founder of what is up, Indonesia?; Prof. Dr. Erwan Agus Purwanto, M.Si selaku Deputi Bidang Reformasi Birokrasi, Akuntabilitas Aparatur, dan Pengawasan RI; Damar Juniarto, Southeast Asia Freedom of Expression Network; serta Chu Wong, Country Coordinator of Fashion Revolution Singapore.
Dibahas lebih lanjut dalam conference pagi itu, bahwasanya ketiga pilar ASEAN tersebut bersumber dari nilai publik masyarakat ASEAN. Oleh karena itu, setiap kebijakan yang bersumber dari kepedulian terhadap pilar-pilar tersebut harus mengandung nilai publik —filosofi yang mengutamakan kepentingan umum—sebagai landasan utama. Dr. Grabiel Lele, SIP, M.Si, kepala Departemen Kebijakan dan Manajemen Publik menyampaikan bahwa untuk mengatasi berbagai tantangan dari tiga pilar yang dijelaskan sebelumnya, membutuhkan inovasi dalam kebijakan sebagai upaya menciptakan solusi untuk masalah tersebut, salah satunya melalui peran pemuda. Oleh sebab itu, topik yang diangkat dalam conference ini sangat menarik dan relevan di masa yang sekarang dalam upaya mewujudkan agile government.
Dalam kesempatan tersebut, Butet Manurung, membawakan topik pembahasan berjudul “Preserving the Existence of Indigenous People and Their Culture in the Modern World”. Ia menyampaikan bahwa masyarakat adat bukanlah entitas kosong, mereka memiliki tingkat pendidikan, sistem pembelajaran yang telah dilaksanakan secara kontekstual sesuai dengan kondisi geografis dan budaya mereka. Adapun metode yang mereka gunakan yaitu dengan bermain, mengamati, mengeksplorasi untuk membangun pola pikir yang kritis. “We think tribal people deserve better. Help us stop it,” pungkas Butet. (/Ann)