Urgensi Penanganan Kekerasan Domestik Berbasis Gender di Indonesia

Yogyakarta, 29 September 2021─Pandemi COVID-19 turut mempengaruhi kasus kekerasan terhadap perempuan, salah satunya adalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Berangkat dari hal ini, Asean Studies Center (ASC) Fisipol UGM mengadakan seri pertama Bincang ASEAN–ReaLISM bertajuk Reading, Learning and Investigating Southeast Asia through Movie. Bincang ASEAN yang berlangsung pada Rabu (29/9) lalu dibuka dengan penampilan film dokumenter Standing on the Edge of a Thorn: A Family in Rural Indonesia (2012). FIlm yang menceritakan tentang kemiskinan, kesehatan mental, dan kekerasan domestik tersebut diproduksi oleh Robert Lemelson, seorang Antropolog Amerika yang turut hadir dalam acara ini. Selain Robert Lemelson, Bincang ASEAN juga menghadirkan Udiana Puspa Dewi, S.S., MA. selaku PhD Candidate University of Queensland dan Ninik Supartini, M.Si., Peneliti Robert Lemelson Foundation.

Film dokumenter Standing on the Edge of a Thorn: A Family in Rural Indonesia menjelaskan tentang Lisa Rohani, seorang anak asal Gunungkidul yang lahir dari pernikahan dini. Film tersebut menunjukkan kehidupan Lisa, beserta kedua orang tuanya yaitu Iman Rohani dan Tri, dalam lingkaran KDRT, kekerasan seksual, dan kesehatan mental.

Robert Lemelson dalam sesi diskusi menyatakan bahwa isu kesehatan mental menjadi hal yang penting untuk diperhatikan, sebelum terjadinya epidemi bunuh diri. Kasus KDRT juga harus ditangani dengan baik karena anak turut menjadi korban yang mengingat pengalaman tersebut hingga dewasa, seperti halnya Lisa. Cara penyelesaianya pun tidak semudah memberi dukungan materiil dan pendidikan. “It’s not that simple,” tukas Lemelson, memperkuat argumen bahwa cara pandang pascakolonial ini tidak menyelesaikan masalah dengan baik.

Diskusi juga diperkaya oleh tanggapan Ninik Supartini yang tergabung dalam proses produksi film. Hingga kini, baik Ninik maupun Lemelson masih berhubungan dengan Lisa dan keluarganya. Ninik berpendapat bahwa kekerasan berbasis gender erat hubungannya dengan budaya dan norma sosial yang merugikan perempuan. Terkait Lisa sendiri, Ninik menyatakan bahwa Lemelson Foundation telah mendorongnya untuk mengembangkan skill dan menjauhi kekerasan domestik. “It’s a very long work and relationship. Kami masih sering berhubungan sampai sekarang dan berdiskusi seperti keluarga,” terang Ninik.

Sementara itu, Udiana Puspa Dewi menyatakan bahwa cara pandang etnografi dalam film ini berhasil memperlihatkan kerentanan perempuan di ranah domestik. Menurut Udiana, identitas perempuan didikte oleh masyarakat, sehingga perempuan tidak memiliki kesempatan untuk menentukannya sendiri. “Perempuan tidak memiliki kesempatan untuk memilih apa yang terbaik baginya. Hasilnya, perempuan akan dipaksa untuk memenuhi ekspektasi masyarakat sebagai istri dan ibu yang baik,” terang Udiana. /tr