
Yogyakarta, 28 Oktober 2021─Center Digital for Society Fisipol UGM menyelenggarakan program Difussion #62 dengan tema “Ruang Digital Indonesia: Sudahkah Aman dan Nyaman?” pada Kamis (28/10). Acara yang berlangsung melalui Youtube Live ini mengundang narasumber Jasmine Putri dan Nadya Olga Aletha dari research assistant CfDS.
Pemaparan materi dibagi menjadi dua bagian, yakni aspek etika dan perlindungan konsumen dalam beriklan di media sosial, dan seksisme mendalam di dalam ruang digital publik. Nadya menerangkan, riset Data Reportal menemukan bahwa pengguna media sosial sudah mencapai 4,55 miliar di seluruh dunia. Di samping itu, potensial iklan di Facebook mencapai 2,28 miliar, Instagram 1,39 miliar, dan Facebook Messenger 1,09 miliar. Perbandingan tingkat penetrasi iklan dengan active users menunjukkan adanya perubahan fungsi media sosial.
“Berdasarkan statistik tersebut penggunaan advertisement di media sosial menunjukkan adanya transformasi fungsi media sosial, jika sebelumnya hanya sebagai media sharing platform, sekarang digunakan sebagai tools untuk digital marketing,” ungkap Nadya.
Di samping itu, terdapat tiga behaviour iklan di media sosial. Pertama, exaggerated karena informasi produk yang diberikan kadang berbeda dengan kenyataan sehingga bisa menjurus pada penipuan. Kedua, repetitive yakni pengulangan iklan secara terus menerus sehingga menyebabkan information overload. Ketiga, inappropriate yang berarti iklan tidak pantas untuk ditayangkan terutama kepada anak-anak di bawah umur, seperti iklan miras, rokok, dan poker.
Akibat dari tiga behaviour tersebut, beberapa pengguna memilih untuk adblock to the rescue untuk mengantisipasi munculnya iklan tersebut yang tentu akan berdampak negatif bagi brand/perusahaan yang melakukan digital marketing. Di sisi lain, adanya perbedaan antara legal framework yang ada di indonesia dengan aturan platform juga menimbulkan permasalahan. Contohnya Facebook yang memperbolehkan iklan poker, sedangkan legal framework di indonesia tidak memperbolehkan. “Nah, ini permasalahannya adalah bagaimana pemerintah bekerja sama dengan platform dapat memoderasi aturan tersebut supaya gap-nya tidak terlalu banyak, jadi bisa mengakomodir kedua belah pihak terutama perlindungan bagi users-nya,” pungkas Nadya.
Sementara itu, Jasmine menjelaskan tentang ruang publik yang menjadikan keberadaan perempuan sering dicirikan dengan kemungkinan terjadinya kekerasan berbasis gender. Berkembangnya internet menjadikan digital public space sebagai situs baru seksisme. Sarah Sobieraj (2017) membagi tipologi seksisme digital menjadi intimidation, shame, dan discrediting. “Strategi-strategi ini digunakan secara bersama untuk membuat ruang publik digital menjadi ruang yang tidak aman bagi perempuan. Dengan demikian, pertanyaan apakah ruang publik akan benar-benar aman bagi perempuan masih akan tetap ada sampai terjadi transformasi substansial dalam lapisan masyarakat itu sendiri,” tutup Jasmine. (/Wfr)