Transformasi Digital Belum Inklusif untuk Masyarakat Adat

Yogyakarta, 12 November 2021─Center Digital for Society (CfDS) FISIPOL UGM berkolaborasi dengan BEM FH Universitas Mulawarman menyelenggarakan Difussion #63 bertajuk “Transformasi Digital: Inklusifkah untuk Masyarakat Adat Indonesia?” pada Jumat (12/10). Acara yang berlangsung melalui streaming Youtube CfDS UGM ini mengundang pembicara Irnasya Shafira, selaku Research Associate CfDS dan Tody Sasmitha, selaku Pengajar Hukum Adat FH UGM.Pada sesi pemaparan, Irnasya menyampaikan bahwa akses internet adalah hal yang sangat penting dalam transformasi digital. Pada tahun 2019, proporsi tertinggi individu yang menggunakan internet berada di provinsi DKI Jakarta sebesar 73,46% dan terendah di provinsi Papua sebesar 21,70%. Menurut Irnasya, Papua mengalami geographical challenges di mana posisi Papua itu sendiri geografisnya sangat ekstrem dan beragam.

“Situasi geografis yang beragam itu menciptakan masyarakat adat yang berbeda-beda juga. Masyarakat adat yang berada di pegunungan memiliki livelihood yang sangat berbeda dengan masyarakat adat yang ada di pantai sehingga karakteristiknya pun berbeda,” ungkapnya.

Dengan masalah kesenjangan infrastruktur yang ada, Irnasya mengatakan topik masyarakat adat belum relevan untuk bahasan transformasi digital. Hal ini dikarenakan belum adanya infrastruktur fisik yang memperbolehkan keberadaan internet sehingga inklusifitas masyarakat adat dalam program transformasi digital menjadi sangat ngawang.

Berkaitan dengan hal tersebut, masyarakat adat perlu dipersiapkan untuk melakukan transformasi digital. Caranya adalah dengan mengkonsiderasikan faktor-faktor yang menghambat penetrasi internet, yaitu geografi, kultural, urgensi politis, dan modal manusia.

“Secara geografis, bagaimana kita berinovasi secara teknologi dan pembangunan untuk bisa membangun infrastruktur internet di daerah terpencil. Secara kultural, bagaimana kita bisa mengenalkan internet sebagai sumber daya baru yang bisa meningkatkan kualitas kehidupan, kemudian apa urgensi politis mereka untuk mengadopsi transformasi digital dan bagaimana modal manusianya,” terang Irnasya.

Sementara itu, Tody menerangkan bahwa digital inclusion artinya memastikan aksesibilitas dari internet untuk social and economic development. Selain akses internet, terdapat tiga elemen lain dari inklusi digital yang perlu disiapkan. Pertama adalah motivation, bagaimana memastikan bahwa masyarakat adat memiliki meaningful reason untuk engage dengan dunia digital. Kedua adalah skills untuk mendorong literasi digital tentang penggunaan dan pemanfaatan internet dengan baik. Ketiga adalah trust di mana ketika kita hidup dalam dunia digital, berarti kita harus punya pemahaman kepada orang yang tidak pernah kita temui.

“Ketika kita bicara digital inclusion, maka tidak bisa sekadar menyediakan akses dalam pengertian infrastruktur, konektivitas, dan seterusnya. Ini bisa menjadi pedang bermata dua ketika akses disediakan namun itu justru mengubah segi kultural, pola produksi, dan ekonomi masyarakat adat,” ucapnya. (/Wfr)