Fisipol UGM dan MPR RI Diskusikan Konsolidasi Demokrasi dan Penguatan Ideologi Pancasila

Yogyakarta, 30 Desember 2021–Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM) bekerja sama dengan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) menyelenggarakan diskusi bertema “Konsolidasi Demokrasi dan Penguatan Ideologi Pancasila”. Acara yang diselenggarakan secara hybrid (daring dan luring), di Ballroom Novotel Suites Yogyakarta Malioboro dan ruang virtual Zoom Meeting, ini menghadirkan pembicara yang terdiri dari akademisi dan praktisi politik dari MPR dan DPR RI. Acara dibuka oleh MC Debora Putri dan selanjutnya diskusi dipandu oleh dosen Departemen Politik dan Pemerintahan (DPP) Fisipol UGM Joash Tapiheru. Dekan Fisipol UGM Wawan Mas’udi dan Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basarah memberi sambutan dalam acara ini.

Dalam sambutannya, Wawan menjelaskan bahwa diskusi bersama MPR RI ini bertujuan untuk mengkaji persoalan demokrasi di Indonesia. Menurut Wawan, aspek substantif yakni ideologi Pancasila penting diperhatikan ketika membicarakan demokrasi. 

“Demokrasi harus mengandung unsur hak asasi dan menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan,” tutur Wawan.

Selanjutnya, Ahmad menjelaskan tentang ancaman-ancaman yang menghadang ideologi Pancasila. Menurutnya, di tengah arus disrupsi dan globalisasi, konsep ideologi dianggap usang oleh sejumlah golongan. Ahmad menjelaskan tentang perilaku sebagian masyarakat Indonesia yang terpengaruh sistem demokrasi liberal. Padahal, menurut Ahmad, demokrasi Indonesia tidak perlu identik dengan demokrasi yang dijalankan bangsa lain.  

“Demokrasi Indonesia harus diisi dengan jiwa dan kepribadian kita sendiri,” tegas Ahmad.

“Demokrasi seharusnya memperkuat pemahaman dan pelaksanaan Pancasila, namun yang terjadi justru sebaliknya, sistem demokrasi saat ini menyimpang dari Pancasila dan bahkan mempertanyakan Pancasila,” tutur Ketua Badan Pengkajian MPR, Djarot Saiful Hidayat, mengawali diskusi sesi pertama. 

Menurut Djarot, demokrasi yang dikembangkan bangsa Indonesia mestinya berakar dari kepribadian bangsa. Sebab, bangsa Indonesia merupakan bangsa yang komunal dengan karakter gotong royong. Ia mengusulkan empat cara memperbaiki demokrasi: 1) penyederhanaan Pemilu, 2) penyederhanaan dan penguatan partai politik melalui parliamentary threshold dan presidential threshold, 3) reformasi birokrasi dengan mewujudkan aparatur sipil negara yang bebas dari politik kepartaian, dan 4) penguatan parpol dalam pendidikan politik untuk para kader.

Anggota DPR RI Komisi X, My Esti Wijayanti, mengusulkan gagasan mengenai cara penguatan demokrasi Pancasila dari sudut pandang politisi perempuan. Menurut Esti, kesetaraan gender dan keterlibatan perempuan di lembaga politik mempengaruhi penguatan ideologi Pancasila.

“Semakin perempuan diberi ruang dalam legislasi, saya menilai, ini akan menjadi penguatan bagi demokrasi Pancasila,” tutur Esti.

Tenaga Ahli Badan Pengkajian MPR dan Dekan Fakultas Humaniora President University, Endi Haryono, menyampaikan materi berjudul “Pancasila, Visi Nawacita, dan Visi Indonesia Maju”.  Endi menjelaskan, Nawacita masih belum mewujudkan pemantapan Pancasila (revolusi mental dan kebhinekaan). Ia menambahkan, pemantapan Pancasila tidak dapat diletakkan dalam kesepakatan politik, melainkan harus inheren dengan pendidikan nasional dan implementasi revolusi mental. 

“Revolusi mental mestinya untuk pegawai negeri dan penyelenggara pemerintahan bukan masyarakat umum,” tutur Endi.

Di sesi kedua, Dosen DPP Fisipol UGM, Abdul Gaffar Karim, menyampaikan hasil penelitian para peneliti dari DPP Fisipol UGM dalam kurun waktu dua tahun belakangan. Ia menjelaskan, karakter sosial yang berbeda di berbagai daerah menyebabkan praktik demokrasi di Indonesia tidak seragam. Penelitian tersebut menunjukkan, daerah-daerah di Indonesia memiliki saluran komunikasi langsung satu sama lain. Pemerintah pusat perlu memfasilitasi proses kepublikan yang baik. 

“Demokrasi yang berupaya diseragamkan dengan satu paradigma saja, justru tidak menghasilkan demokrasi yang substantif,” tutur Ghaffar.

Selanjutnya, dosen Departemen Hubungan Internasional Fisipol UGM, Diah Kusumaningrum, menjelaskan tentang kriteria warga untuk menjaga demokrasi. Beberapa di antaranya ialah warga yang siap memanusiakan, warga yang secara kolektif dan bergotong-royong siap melindungi kelompok yang lemah, dan warga yang siap berkonflik secara nirkekerasan supaya demokrasi tidak terganggu dan semakin kuat.

“Perlu pendekatan lebih kreatif untuk mendekatkan orang-orang secara personal dengan nilai-nilai Pancasila tanpa harus dilabeli Pancasila,” tutur dosen Departemen Sosiologi Fisipol UGM, Kuskridho Ambardi. 

Dia menjelaskan, ada perubahan esensial dalam mendefinisikan audiens secara nasional sejak adanya teknologi digital. Oleh karena itu, cara lama sosialisasi sudah dinilai ketinggalan, karena tidak dapat menjangkau audiens secara luas dan bentuk persuasinya pun sudah tidak relevan dengan kondisi sekarang. (/NIF)