RUU TPKS menjadi Solusi Ruang Digital yang Aman dari Kekerasan Seksual

Yogyakarta, 7 Februari 2022─Center Digital for Society Fisipol UGM kembali menyelenggarakan OPOSIT #26 bertajuk “Masih Adakah Ruang Digital yang Aman dari Kekerasan Seksual?” pada Senin (7/2). Acara yang berlangsung melalui Instagram Live @cfds_ugm ini mengundang narasumber Duke dari Kriminologi UI dan Puke dari Pusat Studi Gender dan Seksualitas UI.

Kekerasan seksual termasuk dalam payung yang lebih besar yakni KBGO (Kekerasan Berbasis Gender Online). Jenis-jenis KBGO meliputi pelanggaran privasi, pemantauan/surveilans, perusakan reputasi/kredibilitas, pelecehan yang dapat disertai pelecehan online, ancaman dan kekerasan langsung, serta serangan yang ditargetkan pada komunitas tertentu.

Menurut data Komnas Perempuan, pelaporan KBGO pada tahun 2020 mencapai 940 laporan dan diprediksi tahun 2021 akan meningkat karena pandemi. Korban tersebut sebanyak 67% adalah perempuan. Namun, faktanya laki-laki juga bisa menjadi korban kekerasan seksual. Hanya saja, laki-laki cenderung tidak bisa melaporkan dirinya mengalami pelecehan karena terdapat pandangan umum bahwa laki-laki sebagai pelaku dan perempuan sebagai korban.

Lebih lanjut, perempuan cenderung mengalami kekerasan seksual dibanding laki-laki dikarenakan budaya patriarki yang masih mengental di Indonesia. “Sebenarnya ada budaya patriarki yang kemudian menciptakan ketimpangan terhadap laki-laki dan perempuan, ketimpangan ini menjadikan perempuan tidak mampu untuk membela dirinya ketika menjadi korban, itulah akhirnya perempuan cenderung lebih rentan,” tutur Duke.

Di samping itu, sifat internet yang anonimitasnya sangat tinggi dapat memperlancar terjadinya kekerasan seksual di ruang digital. Hal ini dikhawatirkan semakin punahnya ruang digital yang aman dari kekerasan seksual baik bagi laki-laki maupun perempuan. Oleh karenanya, Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) harapannya dapat segera disahkan sebagai payung hukum untuk melindungi korban kekerasan seksual.

RUU TPKS ini jika disahkan bisa digunakan sebagai dasar baik bagi perempuan maupun laki-laki untuk mengadukan kembali orang yang dianggap sebagai pelaku kekerasan seksual itu sendiri,” ucap Duke.

Sependapat dengan Duke, meskipun sudah ada UU ITE sebagai police cyber di internet, tetapi RUU TPKS lebih dibutuhkan karena sifatnya yang berperspektif korban seperti rehabilitasi korban, pemulihan pasca trauma, dan sebagainya. 

“Kalau kita masuk duluan ke UU ITE sepertinya agak sulit karena saat kita mau lapor dan mencantumkan screenshot saja, nanti kita bisa dituduh lagi pencemaran nama baik, jadi kalau kita punya payung hukum RUU TPKS nanti korban yang mengadu dapat dilindungi,” tutur Puke. (/Wp)