Yogyakarta, 1 Maret 2022─Institute of International Studies (IIS) Fisipol UGM menyikapi konflik Rusia-Ukraina dalam program IIS Commentaries yang berjudul “Konflik Rusia-Ukraina: Negosiasi Jalan Keluar Terbaik”. Peneliti senior Institute of International Studies (IIS) sekaligus pakar studi Eropa, Muhadi Sugiono, menjadi pembahas dalam sesi ini.Serangan militer Rusia terhadap Ukraina pada Kamis (24/2/2022) adalah konsekuensi dari kekhawatiran Rusia atas ekspansi NATO ke Ukraina. Muhadi menilai konflik ini berakar pada kecemasan Rusia terhadap Ukraina yang akan bergabung ke dalam NATO. Langkah agresif Rusia tidak hanya berpotensi mengakibatkan krisis kemanusiaan, tetapi juga menjadi pintu masuk bagi peperangan besar —termasuk potensi penggunaan senjata nuklir.
Presiden Rusia, Vladimir Putin, menilai ekspansi keanggotaan tersebut merupakan sinyal ‘pengkhianatan’ negara-negara pemenang Perang Dingin terhadap Rusia yang tak menghendaki perluasan NATO pasca-Perang Dingin.
“Saat ini, aksi NATO yang melakukan ekspansi keanggotaan ke wilayah timur mengancam posisi Ukraina sebagai ‘benteng terakhir’ bagi Rusia. Jika Ukraina bergabung dengan NATO, perbatasan di antara Rusia dan NATO akan berhimpitan,” jelas Muhadi.
Muhadi menduga, saat ini Rusia dilanda kecemasan terhadap prospek hilangnya zona-zona penyangga (buffer zones) yang dapat menyokong keamanannya, khususnya Ukraina. Saat ini, Rusia menuntut sesuatu yang telah lama ‘diklaimnya’. “Persoalan Ukraina, bahkan menjadi ‘life and death’ bagi keamanan dan geopolitik Rusia. Dan dalam keputusasaan, Rusia dikhawatirkan dapat menjadikan senjata nuklir sebagai opsi, entah secara terpaksa atau tidak,” ungkap Muhadi.
Krisis ini ditengarai akan menjadi semakin kompleks apabila Amerika Serikat, Eropa, dan NATO terus menggunakan paradigma ‘menghukum Rusia’ melalui sanksi-sanksi ketat guna memancing perubahan sikap dan kebijakan Rusia. Usaha mengutuk dan menghukum Rusia itu tidak akan bisa menyelesaikan konflik apabila sumber kekhawatiran Rusia soal perluasan NATO tidak turut didengarkan. Meski demikian, Muhadi mengatakan, negosiasi masih menjanjikan jalan keluar.
“Seharusnya, pintu negosiasi dibuka selebar-lebarnya agar Amerika Serikat dan negara-negara Barat dapat memahami apa yang menjadi kebutuhan Putin. Tanpa negosiasi, akibatnya justru akan fatal,” tutur Muhadi.
Lebih lanjut, salah satu implikasi strategi agresif Rusia adalah terganggunya stabilitas sistem internasional. Sedangkan bagi Indonesia, imbas konflik ini tidak akan langsung terjadi sebab keterlibatan Indonesia cenderung minim. Akan tetapi, tahun ini Indonesia menjadi Presidensi G20—di mana Rusia, Uni Eropa, dan Amerika Serikat akan bertemu. Meskipun forum ini tidak membicarakan isu keamanan, forum ini kemungkinan besar dapat terdampak atau malah menjadi momen dialog, khususnya dalam isu kondisi ekonomi global. (/Wp)