Yogyakarta, 26 Juli 2022—Dalam rangka memperingati Hari Jadi ke-3 Health Promoting University (HPU) Fisipol UGM, Fisipol Crisis Center menyelenggarakan webinar bertajuk “#GetSafeOnline : How to Prevent and Handle Online Harassment” pada Selasa (26/7). Webinar yang mengangkat tema mengenai pencegahan Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) ini berangkat dari fakta bahwa kasus KBGO mengalami peningkatan pada era digital. Desintha Dwi Ariani, dosen Departemen Sosiologi Fisipol UGM dan Ellen Kusuma, Kepala Subdivisi Digital At-Risks SAFEnet.
Mengawali diskusi, Desintha menyatakan bahwa KBGO di Indonesia mengalami kenaikan kasus dan skala diskusi. “Data Komnas Perempuan 2020 menunjukkan bahwa KBGO merupakan bentuk kekerasan seksual baru yang muncul di tengah pandemi Covid-19,” ujar Desintha. Kemunculan dan peningkatan kasus KBGO disebabkan oleh masifnya penggunaan teknologi internet di tengah pandemi Covid-19.
Satu tahun setelahnya, KBGO semakin meningkat di Indonesia. Menurut Desintha, data Komnas Perempuan 2021 menemukan sebanyak 940 kasus KBGO, sementara LBH Apik menemukan 307 kasus. “Bentuknya bermacam-macam, mulai dari ucapan yang cenderung mengobjektifikasi hingga merendahkan,” ujar Desintha.
Menanggapi Desintha, Ellen berpendapat bahwa KBGO terjadi karena minimnya perlindungan data pribadi di media sosial Indonesia. “Padahal, data apa pun yang terunggah di media sosial saling terhubung. Jejak digital kita dapat bertahan selamanya, bahkan dibuat sendiri oleh orang lain,” jelas Ellen. Hal tersebut membuat para pelaku KBGO mampu mendapatkan akses terhadap data-data korbannya secara leluasa.
Faktor lain yang membuat KBGO tumbuh subur adalah sempitnya perspektif yang digunakan untuk memandang KBGO. “Kekerasan dalam KBGO sering dipahami sebagai kekerasan fisik semata, sementara online kerap dipahami sebagai kekerasan di internet saja,” jelas Ellen. Padahal, ada juga kekerasan yang menimbulkan kerugian psikis dan KBGO yang terjadi di luar jaringan, seperti melalui SMS.
Kuatnya budaya patriarki di Indonesia, sebagaimana dijelaskan oleh Desintha, turut melanggengkan KBGO. Budaya patriarki tersebut turut dinormalisasi oleh heteronormativity, norma yang mendasarkan pada identitas, peran, dan ekspresi gender. “Heteronormativity membuat berbagai bentuk kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki dianggap normal karena merupakan ekspresi maskulinitas,” jelas Desintha.
Salah satu peserta webinar, Dendy Febrian, mengungkapkan bahwa rekannya pernah mendapat KBGO. “Teman saya mendapat ujaran bernada seksis. Hal itu membuatnya tidak nyaman berekspresi di media sosial,” ujar Dendy.
Tidak hanya Dendy, peserta webinar lainnya, Yanuar Indriyanto, mengaku juga memiliki rekan yang anaknya mengalami KBGO. “Anak dari rekan saya mendapat intimidasi di media sosial. Orang tuanya kewalahan untuk merespons kondisi emosional anaknya setelah kejadian tersebut,” ujar Yanuar.
Beberapa cara dapat dilakukan untuk memerangi KBGO. Desintha menekankan pentingnya upaya pencegahan dalam menangani KBGO. “Salah satu upaya pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan kesadaran atau awareness masyarakat mengenai isu-isu kekerasan seksual,” jelas Desintha.
Di sisi lain, Ellen memberikan beberapa hal yang harus dilakukan untuk menghadapi kasus KBGO yang telah terjadi. Pertama, simpan barang bukti berupa tangkapan layar atau URL. Kedua, lakukan pemetaan risiko yang mungkin muncul akibat KBGO. Ketiga, identifikasi perasaan dan keinginan korban KBGO terhadap kasusnya. Keempat, susun kronologi yang tidak perlu terlalu detail, tetapi jelas menunjukkan bentuk pelecehan yang dialami. Kelima, laporkan kasus ke platform tempat KBGO terjadi dan kepolisian. “Lembaga kepolisian mungkin memiliki track record yang kurang bagus akhir-akhir ini. Namun, penyelesaian KBGO secara tegas dengan jalur hukum tetap diperlukan supaya pelaku jera,” jelas Ellen. (/bkt)