Yogyakarta, 19 September 2022–Pembukaan Dies Natalis Ke-67 Fisipol UGM dan Seminar Nasional bertajuk “Untuk Apa Reformasi? Tantangan Demokrasi di Era Disrupsi” diselenggarakan secara hybrid pada Senin (19/9). Tahun ini, pidato Dies disampaikan oleh Nur Rachmat Yuliantoro selaku dosen Departemen Ilmu Hubungan Internasional, dengan judul “Transformasi Digital, Pandemi, dan Krisis Iklim: Tantangan Baru Demokrasi Global.”
Pada pertengahan tahun 2000-an, berbagai indeks dan pengamatan demokrasi menunjukkan Indonesia telah belajar mempraktikkan demokrasi dengan baik. Namun, Nur Rachmat menyampaikan, beberapa tahun terakhir keraguan tentang klaim Indonesia sebagai negara demokratis semakin meningkat seiring dengan negara dan rakyat yang kelimpungan menghadapi tantangan demokrasi kontemporer. Akibatnya, praktik yang berlawanan dengan nilai-nilai demokrasi mulai bermunculan.
“Dalam tahun-tahun terakhir ini kita menyaksikan penggunaan ranah digital untuk menggerus demokrasi, penanganan terhadap pandemi yang dianggap sebagai kesempatan untuk melemahkan rakyat, dan pengabaian kepentingan rakyat atas keberlanjutan lingkungan,” terangnya.
Di tengah perdebatan mengenai apa jenis demokrasi yang dibutuhkan, Nur Rachmat menerangkan, bisa jadi yang paling dibutuhkan adalah menjadi demokrasi yang belajar. Transformasi digital, pandemi, dan krisis iklim sebagai tantangan kontemporer yang dihadapi negara maupun rakyat secara tidak langsung mendesak pengimplementasian demokrasi yang belajar. Ketiga tantangan ini membuat kita memahami bahwa keluwesan dalam menavigasikan demokrasi dibutuhkan untuk menyikapi hal-hal yang di luar tampak apolitis, tetapi dalam praktiknya erat dengan dinamika kuasa.
Sementara itu, Rektor UGM Ova Emilia yang juga hadir dalam acara ini, mengungkapkan bahwa kondisi demokrasi saat ini merupakan titik balik bagi situasi politik yang tidak lagi dianggap relevan pada kehidupan yang akan datang sesuai dengan kebutuhan bangsa.
“Reformasi itu juga dimaknai secara mendalam sebagai koreksi terhadap diri kita sendiri, mungkin atas sesuatu hal yang sudah tidak sinergis dengan kondisi yang ada sekarang ini. Saya melihat reformasi sebagai sebuah dinamika yang akan terus berkembang, yang tentu keberhasilannya akan dilihat dari sejauh mana kita mampu menangkap arus kebutuhan peradaban,” jelas Ova.
Lebih lanjut, Dekan Fisipol UGM Wawan Mas’udi menyampaikan, ini merupakan kesempatan yang baik bagi kita untuk merefleksikan dan merenungkan kembali terkait bagaimana peran dari fakultas kita, khususnya ketika dihadapkan dengan berbagai macam tantangan yang berhubungan dengan dinamika demokrasi yang sedang berlangsung baik dalam ranah domestik maupun global. Salah satunya adalah langkah atau aksi kecil yang mungkin bersifat lokal tetapi mempunyai value global yang jauh lebih kuat.
“Sebagai contoh, tim (Dies Natalis) nanti akan memimpin penanaman 1000 pohon sebagai bagian dari aksi kecil kami, Fisipol UGM bekerja sama dengan Fakultas Kehutanan UGM untuk ikut berkontribusi dalam perubahan iklim. Ini sekaligus untuk menunjukkan bahwa demokrasi hanya sanggup bertahan jika ada keterlibatan dari individu dan komunitas,” ungkap Wawan.
Setelah penyampaian Pidato Dies Natalis dan sambutan-sambutan, acara selanjutnya adalah Seminar Nasional yang menghadirkan pembicara Amalinda Savirani (Dosen Departemen Ilmu Politik dan Pemerintahan), Zainal Arifin Mochtar (Dosen Departmen Hukum Tata Negara), dan Kuskridho Ambardi (Dosen Departemen Sosiologi). (/WP)