Yogyakarta, 8 Desember 2022─Menjelang tahun politik 2024, Departemen Politik dan Pemerintahan (DPP) bersama dengan media daring mojok.co meluncurkan kanal pemilu bertajuk ‘Suara Politik Perempuan’ pada Kamis (8/12) di Auditorium Fisipol UGM. Peluncuran kanal ini merupakan salah satu upaya untuk menyuarakan kepentingan perempuan dalam arena politik, khususnya pemilu. Kanal pemilu ini merupakan kolaborasi strategis di mana pendidikan politik dapat disampaikan melalui cara yang lebih populer dan dengan jangkauan lebih luas.
Meskipun pembangunan antara perempuan dan laki-laki di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menunjukkan angka kesenjangan paling kecil, kesetaraan gender dalam arena politik masih belum tercapai. Hal tersebut disampaikan oleh Erlina Hidayati Sumardi, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Pengendalian Penduduk (DP3AP2) Yogyakarta ketika memberi sambutan. “Kanal ini menjadi ruang ekspresi luas bagi perempuan atau siapapun yang percaya bahwa peran perempuan dalam politik Indonesia itu sangat penting,” ujar Erlina. My Esti Wijayanti, politisi Partai Demokrat Indonesia Perjuangan (P-DIP), turut menggarisbawahi pentingnya kehadiran perempuan dalam lembaga legislatif agar dapat menyaksikan dan terlibat langsung dalam perumusan kebijakan.
Gusti Kanjeng Ratu Hemas juga hadir memberikan Keynote Speech mengenai tantangan Pemilu 2024. “Kalau kita bicara Pemilu 2024, jelas tantangannya lebih berat,” tegas GKR Hemas. Menurutnya, tantangan tersebut terletak pada sisi regulasi, kultur, inkonsistensi dalam agenda perempuan, hingga kurangnya organisasi yang vokal menyuarakan isu perempuan dalam pemilu.
Selain itu, tantangan juga ditemukan dalam mendefinisikan pelibatan perempuan dalam politik. “Partisipasi perempuan itu sekadar biologis saja, dalam konteks ideologi dan substansinya kurang terurai,” ungkap Desinta Dwi Asriani selaku dosen Sosiologi UGM. Menurutnya, cara pandang yang melihat partisipasi perempuan secara kuantitatif saja perlu diperbaiki. Lebih dari itu, substansi juga merupakan suatu hal yang perlu diurai lebih dalam lagi.
Lebih lanjut, Dina Mariana, dari Institute for Research and Empowerment (IRE), menjelaskan bahwa aspek kultural juga merupakan tantangan bagi partisipasi perempuan dalam politik. “Untuk mencapai kesetaraan kan berat, karena kita hidup dalam (budaya) patriarki dan ruang maskulin”, jelas Dina. Situasi tersebut semakin diperparah dengan adanya intervensi politik uang. “Investasi perempuan selama bertahun-tahun itu bisa habis dibabat dengan amplop,” tambahnya.
Sejalan dengan pendapat Dina, Wasingatu Zakiyah, dari Caksana Institute, menyaksikan sendiri bagaimana politik uang bermain pada level akar rumput. Menurutnya, rakyat yang akan memilih pada pemilu maupun pilkada nanti harus berani menolak politik uang. Selain itu, para calon legislatif juga harus diberi ruang untuk masuk pada level akar rumput untuk menyuarakan visi misi yang mereka bawa.
Lebih lanjut, tantangan perjuangan perempuan, khususnya dalam arena politik, merupakan masalah bersama yang harus dihadapi bersama-sama. Kolaborasi berbagai pihak merupakan salah satu kunci dalam meraih kesetaraan.